Apakah aku saudara bagimu?"

Setiap hari, aku selalu komplain akan hal yang sama di jalan raya : sesama pengendara kendaraan. Entah itu sepeda motor ataupun mobil. Selalu ada saja ulah mereka yang membuat jengkel. Banyak pengendara motor yang sok sibuk dengan mengendara sambil sms. Mobil yang menyetir lambat di jalur cepat. Kelompok motor yang ngerumpi sambil menyetir bergerombol. Mobil yang memotong jalur antrian macet. Dan banyak hal menyebalkan lainnya. Ini masih belum menghitung “dosa” angkot dan becak.

Salah satu  kejadian yang cukup mengganggu adalah ketika aku menyetir di sore hari sepulang kerja. Saat melintasi daerah macet karena jalan “bottleneck” dan lampu merah, aku melihat seorang pengendara motor berjalan begitu lambat. Di tangan kanannya, ia sibuk mengetik dengan handphone. Karena perhatiannya terbagi, ia mengendara dengan lambat dan menghambat jalan lalu lintas. Saking emosinya, saya sengaja mengarahkan mobil padanya hingga dekat sekali dan mengklakson untuk mengagetkannya. Berhasil. Ia pun sempat oleng karena kaget. Tapi, ia kemudian menjadi marah dan mengejar mobilku yang sudah mendahuluinya. Ketika sampai di sisi mobil, ia balas mengklakson sambil melotot, lalu ngebut meninggalkan mobil. Kejadian ini menggangguku bukan karena ulah motor tersebut, melainkan penyesalan yang timbul sesudah kejadian itu. Untuk apa semua itu aku lakukan? Kalau sampai timbul korban jiwa karena keisengan belaka, bukankah tindakanku akan sangat sia-sia sekali?

Penyesalan yang lebih mendalam adalah ketika Allah berbicara dalam Misa Kudus minggu kemarin. Imam selebran mengatakan bahwa,”Ikatan kasih yang mempersatukan antara Pribadi Allah Tritunggal, antara Allah dengan manusia, dan antar sesama manusia, adalah bukti identitas seorang murid Kristus”. Kejadian waktu itu seolah menjadi saksi bahwa aku melakukan yang sebaliknya. Tidak ada kasih dariku untuk pengendara tersebut. Tapi, benakku berkilah,”Memangnya dia siapa? Orang itu kan bukan siapa-siapa buatku. Selain itu, salahnya sendiri karena tidak tertib di jalan.”

Pertanyaan benak ini menggemakan kembali pertanyaan Kain,”Apakah aku penjaga adikku?” (Kej 9:4). Pertanyaan penuh ketidakpedulian Kain menjadi pertanyaanku juga. Aku tidak peduli dengan saudaraku sendiri, kendati aku sering mengatakan bahwa orang lain adalah saudaraku. Memang, orang lain adalah saudaraku, tapi apakah aku telah berperilaku sebagai seorang saudara bagi sesamaku? Orang Samaria dalam Injil Lukas telah bertindak sebagai seorang saudara bagi si Yahudi yang dirampok (Luk 10:37). Aku belum bertindak sebagai saudara bagi pengendara motor itu. Aku lebih bertindak sebagai seorang hakim yang ingin memvonis dan mengeksekusi pengendara motor tersebut. Aku menduduki kursi yang bukan milikku.
Mungkin satu-satunya cara untuk mengatasi kecenderungan ingin menghakimi ini adalah dengan menyadari bahwa pengendara motor tersebut juga saudaraku. Jika aku membayangkan adik-adikku menjadi korban tindakan jahat seseorang, tentu saja kesedihan dan kemarahannya tidak terbayangkan. Apakah aku benar-benar tega melakukan hal buruk itu pada pengendara motor jika dia adalah saudaraku? Allah adalah Hakim Agung yang sejati, dengan keadilan absolut. Tapi, Hakim Agung ini tetap menunjukkan kasih dalam keadilannya. Apakah aku yang tidak sempurna ini layak mengadili sesamaku?

Tidak ada jalan lain. Kasih adalah jalan yang harus aku tempuh supaya aku bisa melihat sesamaku sebagai saudara. Apapun kekurangan mereka. Toh, aku sendiri belum sempurna. Yang harus aku lakukan adalah memintal gulaliku sekuat tenaga, agar manisnya Allah dalam hidup dapat mengukir senyum di wajah saudara-saudaraku. Keadilan bukan hanya soal peraturan. Keadilan adalah soal cinta.

“Kasih sungguh lebih besar dari peraturan manapun. Bahkan, semua peraturan 
harus mengantar pada kasih!” – St. Vincentius a Paulo.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”