SETIA & SELINGKUH TIADA AKHIR

HARI MINGGU BIASA XXI
Pastor Sani Saliwardaya, MSC

Inpirasi Bacaan: 
Yos. 24:1-2a, 15-17, 18b; Ef. 5:21-32; Yoh. 6:60-69

Beberapa waktu yang lalu banyak bermunculan singkatan-singkatan “plesetan”, artinya maksud sebenarnya dari kepanjangan singkatan itu diubah dengan alas an tertentu. Misalnya, SMS singkatan sebenarnya Short Messages diubah menjadi Semua Makan Sosis dengan tujuan agar iklan Sosis menarik dan meningkatkan penjualan Sosis; atau Selingkuh Makin Serius untuk mengatakan bahwa SMS bisa mengarah pada perselingkuhan yang makin intens. Singkatan  BBM (Blackberry Messager) menjadi Bisa Bikin Miskin karena harga BB dan biaya langganannya mahal; atau Benar-benar Menjengkelkan karena sinyalnya amat jelek sehingga pesan selalu tertunda, dll. Masih banyak lagi bentuk-bentuk “plesetan” terhadap singkatan-singkatan. Mengapa terjadi “plesetan” atas singkatan-singkatan? Ada banyak alasannya. 
Seperti terungkap di atas,  antara lain, untuk mengiklankan produk dan mendongkrak penjualannya, untuk mengingatkan bahaya pemakaian berlebihan atas suatu produk tekhnologi, atau untuk mengungkapkan kekecewaan terhadap sesuatu. 

“Plesetan” juga terjadi bukan pada singkatan-singkatan saja, tetapi pada ungkapan-ungkapan tertentu. Misalnya ungkapan SETIA diplesetkan menjadi SElingkuh TIada Akhir; SELINGKUH menjadi SELingan INdah Keluarga utUH. Saya mencoba merenungkan sambil mencari-cari motivasi dibalik “plesetan” ini dan mengkaitkannya dengan bacaan-bacaan Kitab Suci Minggu ini.
Di era masyarakat ultra-modern dan globalisasi ini, di mana sistem transportasi dan komunikasi semakin canggih, cepat, dan nyaman, terasa seolah-olah “dunia semakin sempit” (semua  tempat menjadi lebih gampang dijangkau dengan waktu yang singkat) dan seolah-olah “manusia makin dekat” (komunikasi menjadi lebih cepat}. Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan dunia ultra-modern ini bukan hanya memberikan nilai-tambah (nilai positip) bagi masyarakat tetapi juga memberi dampak (efek) negatip karena tidak diimbangi dengan perkembangan etis-moralnya. Dengan kata lain, ada kesenjangan antara perkembangan tehnologi yang sangat cepat bagaikan deret ukur dan pemahaman penghayatan etis-moral yang lambat bagaikan deret hitung. Kesenjangan itu menimbulkan kebingungan karena kurang adanya panduan yang jelas untuk mengatasinya. Karena tidak adanya panduan jelas itulah muncul sikap excuse, yakni sikap yang memberi izin bagi dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu berdasarkan norma / panduan / aturan sendiri. Sikap excuse merupakan sikap pembenaran diri. “Plesetan” di atas, meskipun dikatakan dengan nada bergurau dan tidak terlalu serius, tetapi mungkin terkandung sikap excuse tersebut: mau membenarkan diri terhadap perselingkuhan.

Bacaan-bacaan Kitab Suci Minggu ini membawa pesan agar kita setia kepada Tuhan tanpa membuat dan mencari-cari pembenaran diri.

Dalam bacaan pertama, menjelang wafatnya, Raja Yosua menyampaiakn pidato perpisahannya kepada para pemimpin bangsa. Dalam pidato perpisahannya ini, Yosua menanyakan ketegasan sikap mereka untuk beribadah kepada Tuhan. Mengapa Yosua menanyakan hal itu? 

Dalam pemerintahan Raja Yosua bangsa Israel mengalami kemakmuran, kesejahteraan dan keamanan, serta kedamaian di antara suku-suku Israel & Yehuda Yosua menyadari bahwa semua itu berkat perlindungan Tuhan (Yos. 21:43-45). Yosua mengumpulkan para pemimpin bangsa untuk mengingatkan mereka akan kebesaran dan perlindungan-Nya selama ini kepada mereka. Yosua mengingatkan mereka akan karya Allah bagi bangsa Israel mulai sejak dari Abraham sampai dengan masa pemerintahannya (bdk. Yos. 24:1-28). Allah begitu setia mendapmpingi seluruh perjuangan dan pergumulan bangsa. Di pertengahan pidatonya itu, Yosua menuntut kesetiaan mereka untuk tetap mengabdi kepada Tuhan (Yos. 24:14-15, 19-20). Kemudian Yosua mengakhiri pidatonya dengan mengikat suatu perjanjian kesetiaan kepada Tuhan di Sikhem di antara mereka (Yos. 24:25-28).

Dalam bacaan Injil, seperti halnya Yosua, Yesus juga menanyakan ketegasan sikap para murid-Nya terhadap Dia, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?”. Mengapa Yesus meminta ketegasan sikap mereka?

Setelah mengadakan mukjijat perbanyakan roti (Yoh.6:1-15), banyak orang berbondong-bongdong mencari dan mengikuti Yesus (Yoh.6:22-24). Kepada mereka Yesus mengajarkan tentang Roti Hidup yang adalah DIri-Nya Sendiri (Yoh.6:25-59). Yesus mengatakan bahwa keselamatan terjadi bila orang bersatu dengan-Nya. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman” (Yoh.6:53-54). Ungkapan simbolik Yesus itu tidak bisa dipahami oleh para pendengarnya sehingga mereka mengerutu dan mulai menolak Yesus (bdk. Yoh, 6:41-42, 52). Mereka menjadi semakin menolak ketika Yesus membandingkan  Diri-Nya dengan manna, peristiwa roti di padang gurun pada masa Musa. “Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya” (Yoh.6:58).

Karena pengajaran-Nya itu, banyak orang yang tersinggung dan bersungut-sungut,  kemudian meninggalkan Dia (bdk. Yoh. 6:60). Situasi ini menjadi kesempatan bagi Yesus untuk mengajarkan dan menegaskan kembali kepada para murid-Nya bahwa Dia datang untuk melaksanakakan kehendak Bapa, dan hanya karena kehendak Bapa saja orang bisa percaya kepada Dia (bdk. Yoh.6:61b-65). Yesus menanyakan ketegasan sikap para murid untuk percaya dan setia kepada-Nya.  Mewakili rekan-rekannya, Petrus menjawab, “Tuhan kepada siapakah kami akan pergi? Sabda-Mu adalah sabda hidup yang kekal. Kami telah percaya dan tahu bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah” (Yoh.6:68-69). Pengakuan Petrus ini menyatakan kepercayaan dan kesetiaan seorang murid kepada gurunya.

SETIA merupakan sikap yang agak jarang dan sulit diketemukan di zaman ultra-modern dewasa ini, sebaliknya SELINGKUH TIADA AKHIR merupakan tindakan yang cukup gampang diketemukan di mana-mana. SELINGKUH bukan hanya dalam hidup perkawinan saja, tetapi juga dalam kehidupan beriman, yakni orang Katolik yang “jajan” ke tempat-tempat ibadat lain untuk mendapatkan “kepuasan” batin. Pembenaran diri atas perselingkuhan iman ini ialah bahwa di Gereja Katolik tidak menemukan & mendapatkan “kepuasan” diri, “kepuasan” yang diinginkan. Seperti yang sering terjadi dalam perselingkuhan perkawinan karena tidak mau memahami pasangannya, demikian juga perselingkuhan iman terjadi karena tidak mau saling memahami: umat tidak memahami Gereja & ajarannya, sebaliknya Gereja tidak mau memahami kebutuhan umatnya.

SETIA dan SELINGKUH TIADA AKHIR sama-sama membutuhkan pengorbanan.  SETIA membutuhkan pengorbanan diri, sedangkan SELINGKUH TIADA AKHIR membutuhkan orang lain yang berkorban.

Yesus dalam hidup dan karya-Nya lebih memilih mengorbankan diri, mempersembahkan diri agar orang lain bahagia, dan bukan sebaliknya. Yesus memberikan Hidup-Nya agar menghidupkan orang lain.

Sebagai murid Kristus semestinya kita meneladan Sang Guru, dan bertindak lain dari-Nya. Semoga kita mau meneladan Sang Guru. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”