PANGGILAN KENABIAN


Hari Minggu Biasa XIV


Pastor Sani Saliwardaya, MSC

Bacaan Inspirasi : Yeh. 2:2-5; 2Kor. 12:7-10; Mrk. 6:1-6


Semula, Yehezkiel adalah seorang imam pada zaman Raja Yoyakim memerintah Israel (bdk. Yeh. 1:1-3). Ketika Israel dikalahkan Nebokadnesar, Raja Babel, Raja Yoyakim beserta orang-orang dekatnya ditawan dan diasingkan ke Babel. Yehezkiel, sebagai imam penasehat Yoyakim juga termasuk dalam rombongan yang diasingkan itu. Di tempat pengasingan di Babel itulah, Yehezkiel mendapatkan panggilan Tuhan untuk menjadi nabi. DIa diutus bukan hanya sebagai imam yang mempersembahkan korban di tanah orang asing, tetapi juga menyampaikan Sabda Allah kepada bangsa Israel yang ada dipembuangan.

Bangsa Israel, di masa pembuangan itu mengalami keputus-asaan yang cukup berat. Sebagai bangsa terpilih, yang semestinya dilindungi dan diberkati oleh Tuhan, mereka ternyata kalah dalam peperangan bahkan menjadi bangsa terbuang. Mereka merasa Tuhan tidak lagi berada di pihak mereka. Mereka memberontak kepada Tuhan (bdk. Yeh.2:3) Dalam situasi di mana bangsanya mengalami pemberontakan terhadap Tuhan itulah Yehezkiel mendapatkan panggilan dan perutusan Tuhan, Yehezkiel dipanggil untuk menyampaikan Sabda Tuhan kepada mereka (bdk. Yeh.2:4). Yehezkiel mendapatkan suatu tugas perutusan yang tidak mudah, tetapi dia harus menyampaikan Sabda Tuhan, entah mereka mau mendengarkan atau tidak (bdk. Yeh.2:5), yang penting mereka tahu bahwa ada seorang utusan Allah di antara mereka; seorang utusan Allah yang akan senantiasa mengingatkan mereka untuk bertobat (bdk. Yeh. 2:5b).

Oleh Allah yang memanggilnya, Yehezkiel dipanggil dengan sebutan “anak manusia” (bdk. Yeh. 2:3). Dalam konteks kisah panggilan Yehezkiel (Yeh 1:1-3:15), Yehezkiel selalu disebut “anak manusia” oleh Allah yang memanggilnya. Sebutan “anak manusia” hendak menunjukan aspek kemanusiaan, yakni kelemahan manusia itu sendiri. Manusia yang senantiasa mengalami perjuangan dan tantangan hidup untuk bisa dan mampu mendengarkan serta melaksanakan kehendak Allah. Dengan menyebut Yehezkiel sebagai “anak manusia”, Allah hendak mengingatkan bahwa dalam melaksanakan tugas perutusannya itu hendaknya selalu disadari bahwa Yehezkiel tidak bisa hanya mengandalkan kekuatannya sendiri. Dia harus bergantung pada Allah. Kekuatan untuk melaksanakan panggilan dan perutusan kenabian terletak pada kesadaran akan penyertaan Allah.

Hal yang sama juga dialami oleh Paulus dalam bacaan II. Paulus menjadari kelemahan kemanusiaannya sebagai “duri dalam daging” yang sengaja ditanamkan oleh “utusan iblis” (bdk. 2Kor.12:7). Dengan “duri dalam daging” ini Paulus diajak untuk senantiasa menyadari bahwa kekuatan pelaksanaan karya perutusannya terletak bukan pada kemampuan dan kepandaiannya, tetapi semata-mata dari Allah sendiri. Bahkan dengan jelas Paulus mengatakan bahwa semakin dia menyadari kelemahan dan ketidakmampuannya semakin kekuatan dan kuasa Allah bekerja dalam dirinya (bdk. 2Kor. 12:10)
\
Kita masing-masing menerima panggilan & perutusan kenabian dari Tuhan.
Panggilan & perutusan kenabian itu dapat kita laksanakan dengan pelbagai cara. Ada yang dipanggil & diutus sebagai nabi dalam hidup membiara, dalam hidup imamat, dalam hidup berkeluarga, dalam hidup membujang, dan dalam profesi yang lain. Kita sering tidak bisa memilih sendiri panggilan & perutusan kenabian itu; semuanya seolah-olah terjadi begitu saja dan harus kita jalani dan laksanakan. Mungkin pada awalnya, kita merasa memilih sendiri panggilan & perutusan itu. Kita sendiri memilih untuk menjadi biarawan/wati, imam, atau menjadi seorang bapa & ibu keluarga, dll.; tapi di lain pihak, kita tidak bisa memilih untuk menjadi biarawan/wati atau imam di mana kita mau berkarya; kita tidak bisa memilih siapa-siapa yang akan menjadi anak-aak kita. Semuanya seolah-olah “diberikan begitu saja” oleh Tuhan, dan kita harus melaksanakannya suka atau tidak suka. Kita juga sering kali harus mengatakan sesuatu entah lewat kotbah, renungan, nasehat, teguran, dan sebagainya, kepada orang-orang yang dipercayakan kepada kita, entah didengarkan atau tidak didengarkan, entah diikuti atau tidak diikuti. Dan dalam melaksanakan panggilan & perutusan itu, kita sering merasa :lemah” dan “tidak mampu” lagi; kadang-kadang kita jatuh dalam “keputus-asaan”.

Pengalaman Nabi Yehezkiel dan Paulus yang merasa “lemah”, serta pengalaman Yesus sendiri yang ditolak justru oleh orang-orang sekampung-Nya, kiranya bisa menjadi bahan refleksi bagi kita bersama. Pada saat di mana merasa “lemah, tidak mampu, putus asa”, kita justru diajak untuk semakin “mendekatkan diri” kepada Tuhan yang memanggil & mengutus kita sebagai nabi-Nya di mana kita ditempatkan. Kita diajak untuk “berbicara, berkomunikasi, berdialog” dengan Tuhan; kita diajak untuk mencari dan menemukan kekuatan dari Tuhan sendiri.

Semoga kata-kata Paulus yang didasarkan pada imannya, “aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor.12:10), juga bisa menjadi ungkapan iman kita.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”