Mengebaskan debu kekeliruan


Hari Minggu Biasa XV
Oleh: Pastor Paulus Tongli, Pr
Bacaan Inspirasi : Markus 6:7-13


Saya pernah mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari seorang tukang kayu sederhana. Kala itu saya mendapat tugas di suatu paroki. Pada hari pertama saya menempati pastoran, saya melihat beberapa hal yang harus dibenahi di pastoran itu. Saya memanggil seorang tukang kayu untuk membantu saya membenahinya. Pada hari pertama, tukang kayu itu sudah sungguh mengecewakan saya. Ia terlambat datang untuk bekerja, padahal digaji harian. Sementara bekerja, gergaji listrik yang dipakainya rusak. Pada akhir hari ia tidak dapat pulang sendiri, karena motor bututnya tidak mau distater lagi. Saya harus mengantar tukang kayu itu pulang ke rumahnya. Setiba di rumahnya, tukang kayu itu mengundang saya untuk bertemu dengan keluarganya. Ketika kami menuju ke pintu masuk rumahnya, tukang kayu itu berhenti sejenak di sebuah pohon kecil, menyentuh dahan pohon itu dengan kedua tangannya baru membuka pintu dan masuk. Ia tersenyum ke arah keluarganya dan menyambut kedua anak kecilnya dengan kedua tangannya dan memberikan ciuman kepada istrinya. Setelah itu ia memperkenalkan saya dengan keluarganya. Ketika saya pamit, dengan rasa penasaran saya bertanya kepada tukang kayu itu, mengapa ia tadi bergantung pada pohon itu sebelum memasuki rumah. “Oh, itu adalah pohon kekuatiran saya” jawabnya. “Saya tahu bahwa saya punya banyak masalah di perkerjaan, tetapi satu hal yang sangat saya usahakan, persoalan tidak boleh masuk ke dalam rumahku, tidak boleh menjadi persoalan bagi istri dan anak-anak saya. Itulah sebabnya saya menggantungkan persoalan-persoalan pekerjaan di pohon itu setiap kali saya kembali ke rumah. Pagi hari saya mengambilnya kembali. Anehnya, bilamana setiap pagi saya keluar untuk mengambilnya, persoalan itu tidak lagi sebanyak yang saya gantung kemarinnya.” 

Memiliki pohon kekuatiran adalah cara tukang kayu itu mengurangi kekeliruan dan masalah hariannya yang kadang-kadang tampaknya terlalu berat. Karena masalah dan kekeliruan merupakan bagian dari hidup, kita semua membutuhkan pohon kekuatiran. Itulah sebabnya Yesus, ketika mengutus para muridnya untuk mewartakan injil, membekali mereka dengan pohon kekuatiran. “Dan kalau ada suatu tempat yang tidak mau menerima kamu dan kalau mereka tidak mau mendengarkan kamu, keluarlah dari situ dan kebaskanlah debu yang di kakimu sebagai peringatan bagi mereka” (Mrk 6:11). Dengan kata lain, jika engkau mencoba untuk mengajar orang-orang di suatu tempat tertentu, dan engkau menjumpai kekeliruan, janganlah membiarkan penolakan itu mematahkan semangatmu. Kebaskan debu kampung itu, dan pergilah ke kampung yang lain dan mulai lagi suatu halaman yang baru. Mengebaskan debu dari kaki adalah cara yang lain dari menggantungkan masalah pada pohon kekuatiran. 

Seperti para murid dan tukang kayu yang bijaksana, kita membutuhkan sebuah pohon kekuatiran. Mengapa? Karena kekeliruan dan masalah sering merupakan hambatan untuk memulai lagi secara baru dalam hidup seseorang. Kadang-kadang kita terlalu lama menyesali kekelirauan masa lalu dan membiarkan kekeliruan itu menggerogoti semangat hidup dan kegembiraan kita. Kadang-kadang kita membiarkan masalah dan tekanan-tekanan di tempat kerja menghancurkan kedamaian di dalam kehidupan keluarga kita. Agar hal ini tidak terjadi, kita membutuhkan pohon kekuatiran, di mana kita dapat menggantung dan melupakan masalah-masalah kita, sekurang-kurangnya untuk sementara waktu. Pada akhir setiap hari kita perlu untuk mengebaskan debu kecemasan dan kekeliruan dari kaki kita, karena yakin bahwa hari esok adalah hari baru dengan segala kesempatan yang baru. Berusahalah supaya setiap hari baru menjadi seperti suatu permainan sepak bola. Setiap permainan selalu dimulai dari skor 0-0, meskipun pada hari sebelumnya kita mengalami kekalahan 3-0. 

Apa yang terjadi bila kita tidak memiliki sebuah pohon kekuatiran? Jika kita tidak memiliki cara untuk mengebaskan debu kekeliruan kemarin dari kaki kita, debu itu akan semakin tebal dan semakin berat. Akibatnya adalah depresi dan keterpurukan akan semakin dalam. Akhirnya suatu saat kita akan menyerah. Kita akan tinggal diam dan tidak akan pergi lagi ke kampung yang lain, tidak akan memulai lagi proyek yang baru. Tetapi Yesus tidak menginginkan kita menjadi orang yang duduk tenang. Ia menginginkan kita untuk menjadi orang yang selalu berani mulai lagi setiap hari secara baru. Setiap hari yang baru membawa tantangan baru dan kesempatan-kesempatan yang baru. 

Sebagai umat Allah, hari ini adalah hari yang baik untuk berterima kasih kepada Allah atas semua antisipasi yang diberikannya kepada kita untuk menghadapi kekeliruan, kelemahan dan ketidaksempurnaan kita. Orang-orang yang beriman kepada Allah bukanlah orang yang sempurna dan tanpa kesalahan, mereka adalah orang yang menyadari kesalahannya, menyesalinya, meninggalkan kesalahan itu dan bergerak maju dan memulai setiap hari baru dengan suatu harapan yang baru. Allah yang berbelas kasih telah membekali kita dengan sebuah pohon kekuatiran, itulah Kristus. “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran” (1 Pet 2:24). Melalui sakramen-sakramen, khususnya sakramen rekonsiliasi, kita terhubungkan dengan pohon kehidupan ini. Kita juga dapat melakukan hal itu melalui doa harian bilamana kita melakukan kata-kata St. Petrus kepada kita, “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1 Pet 5:7).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”