Nabi Yang Rela Dikambinghitamkan


Di Candi Borobudur, di relief tingkat tiga ke bawah, ada sebuah kisah yang menarik. Inti kisahnya itu demikian, “Ada seorang pendeta yang sedang bertapa dan tinggal di tengah hutan selama 40 hari. Pendeta itu setiap hari makan dan minum dari kekayaan hutan itu. Suatu saat datanglah binatang-binatang hutan: singa, kera dan kelinci, kepada Pendeta untuk mempersembahkan hasil buruannya kepada pendeta itu. Singa sang Raja hutan datang dengan membawa rusa, hasil buruannya. Daging rusa terkenal enak rasanya di antara daging binatang buruan lainnya. Kera pun tak ketinggalan, ia membawa setundun pisang. Akhirnya, kelinci datang kepada pendeta. Kelinci mengatakan begini, “Bapak pendeta, saya tidak memiliki apapun, rumput pun aku kalau bisa hanya bawa sedikit. Bukankah Bapak Pendeta tidak makan rumput? Untuk mengungkapkan rasa cinta saya kepada Bapak Pendeta, saya menyerahkan diriku untuk jadi santapan Bapak pendeta. Sembelihlah diriku.” Bapak Pendeta tak tahan menahan haru, “Kelinciku, betapa besar cinta yang kauberikan kepadaku. Aku tidak akan menyembelihmu. Aku tidak akan marah atau membencimu. Aku mengerti kelemahanmu, dan ketidakberdayaanmu. Mari kita makan bersama persembahan singa dan kera ini” 

Kisah tadi menggambarkan “keberanian kelinci untuk menjadi korban persembahan”. Sulit bagi kita sekarang ini berbicara tentang kepemimpinan yang mau “mengalami korban ketidakadilan, korban fitnah, korban gosip, korban yang dimaki-maki, disalahkan sana-sini.” Gaya hidup kepemimpinan dunia itu bergerak “naik”: menggunakan segala macam cara (senjata, suap, membuat kebijakan yang mencelakakan orang kecil, dsb) untuk mewujudkan kekuasaannya dan dapat mengeruk kekayaan sebanyak mungkin, mau selalu populer karena proyek yang dipimpin sebagai monumen-monumen pribadi, “Wah, dulu gereja ini yang saya yang membangun; merasa paling berguna dan berjasa, “Coba, kalau tidak ada saya, mana mungkin jadi begini!!”. Kualitas pemimpin diukur secara fisik: ada bangunan, dapat mengubah Pemimpin kristiani menurut penilaian dunia itu dituntut prestasi yang nyata dan konkret alias relevan dengan hidup umatnya. Cara kerjanya juga dituntut efisien dan efektif. 

Jalan pikir kepemimpinan dunia itu berkebalikan dengan kepemimpinan kristiani dalam terang Injil. Kenabian kristiani, seperti Yesus, justru kenabian yang berani ditolak, dicurigai, diremehkan oleh keluarganya sendiri dan umat dari tempat Yesus berasal. Itulah yang dialaminya.

Naum kendati Yesus memiliki sikap dan tindakan yang baik toh ditolak. Apalagi seperti diriku. Tidak mudah untuk menjadi nabi yang ketahuan belangnya. Andaikan umat mengetahui belang-belang hitam putihnya hidupku, masihkah ada umat yang mendengarkan atau membaca renungan ini? Barangkali komentar yang akan keluar adalah “Omong kosong!! Perbuatannya sendiri saja tidak mencerminkan perkataannya, kok umatnya justru dituntut begitu. “JARKONI !!” 

Di balik penolakan oleh umat sendiri, sebenarnya terkandung rahmat kepemimpinan yang membebaskan. Semakin kita mewartakan Injil dalam kondisi yang ditolak, semakin nyatalah bahwa pewartaan itu tidak pernah boleh “mengharuskan” melainkan menjadi “peta” atau wawasan agar pendengarnya mampu menentukan pilihan hidupnya. Seorang nabi yang mewartakan dalam kebebasan, selalu siap untuk tidak didengarkan, dicuekin atau ditolak dan dicemooh sebagai omongan “anak baru kemarin sore”. 

Agar dapat menjadi pewarta yang siap ditolak, tidak lain kita mesti bangga akan kelemahan diri kita, sebagaimana telah dicontohkan oleh Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Korintus. Orang yang sadar bahwa dirinya rapuh, pasti tidak akan berbicara dalam level “keharusan” melainkan level “memilih”. Dalam pemimpin itu ada disposisi untuk bersikap rendah hati: rela kehilangan harga diri, rela tidak diperhatikan, dianggap “bakul jamu”. Paulus tidak takut ditolak, karena dalam kelemahan, ia yakin kasih karunia Allah justru akan berlimpah”. 

Itulah gaya hidup Yesus juga, menjadi “guru”, pemimpin, dan raja orang Yahudi, yang “serba rapuh”. Kendati Dia telah mewartakan kerajaan Allah dalam kata (pengajaran) dan perbuatan (menyembuhkan orang sakit buta, lumpuh, ayan, membangkitkan orang mati, mengusir roh jahat, mukjijat2), toh nyatanya Ia tetap ditolak dan akhirnya dibunuh oleh bangsa-Nya sendiri, dengan tuduhan menghojat Allah!! Hebat!! Yesus tidak membela diri untuk memperjuangkan haknya, melainkan membiarkan diri diperlakukan tidak adil. Itulah kepemimpinan kristiani: siap untuk jadi “korban” alias “kambing hitam” untuk menutupi kesalahan orang lain. Yesus tidak menunggu datangnya nasib atau takdir, melainkan memilih menjadi “kambing hitam”, dalam disposisi “jalan salib” sebagai jalan yang harus dilalui oleh seorang pemimpin. Karena itu Ia bagaikan “kelinci” tadi yang memilih menjadi “korban sembelihan”. 

Siapakah kita? Apakah kita akan menjadi “kelinci” yang siap berbuat baik tetapi sekaligus mau berkorban, atau lebih siap untuk “mengkambinghitamkan orang lain” agar kesalahanku ditutupi??

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”