Perjumpaan dua ibu yang mengandung


Dua hari lagi kita akan merayakan natal, kelahiran Sang Penyelamat kita. Dengan hati yang penuh dengan kegembiraan kita saat ini berkumpul untuk sekali lagi memohon datangnya Sang Penyelamat di dalam Perayaan Ekaristi hari Minggu ke-4 dalam masa Adven ini. Hari ini gereja menampilkan di dalam kutipan-kutipan Kitab Suci perjumpaan dua orang ibu yang sedang mengandung. Keduanya dipenuhi kegembiraan akan kandungan mereka.  Para penulis spiritual mengatakan bahwa tindakan pertama Maria sebagai ibu Sang Penyelamat adalah membawa cinta dan keramahannya kepada Elisabeth saudaranya. Tentulah ada makna lain di dalam kunjungan Maria itu lebih dari sekedar datang membantu. Elisabeth adalah istri Zakariah, seorang imam yang terhormat. Di sekitar Elisabet tentu banyak wanita lain yang dapat membantunya selama masa kehamilan dan saat persalinannya.   Pertemuan antara dua orang ibu yang mengandung ini memiliki arti yang lebih dalam daripada sekedar contoh perbuatan baik dalam hal saling membantu. Marilah kini kita mengenal lebih baik kedua orang ibu ini. 
Elisabeth. Ia menikah dalam tradisi Kenisah yang sangat kental. Seribu tahun sebelumnya, Raja Daud yang dipandang sebagai simbol tangan Allah di tengah umatNya dan pemersatu umat Israel dan umat Yehuda mengimpikan sebuah Kenisah. Dalam kitab kedua Samuel kita baca: Ketika raja telah menetap di rumahnya dan TUHAN telah mengaruniakan keamanan kepadanya terhadap semua musuhnya di sekeliling, berkatalah raja kepada nabi Natan: “Lihatlah, aku ini diam dalam rumah dari kayu aras, padahal tabut Allah diam di bawah tenda.” Lalu berkatalah Natan kepada raja: “Baik, lakukanlah segala sesuatu yang dikandung hatimu, sebab TUHAN menyertai engkau. (7:1-3) Kemudian Nabi Natan melarang Raja Daud untuk mendirikan Kenisah. Ketika itu, orang-orang Yahudi kuatir bahwa dengan mendirikan Kenisah di Yerusalem, mereka akan menjadi seperti orang-orang kafir yang mengikatkan dewa dengan tempat tertentu. 
Pada zaman Salomo, para pemimpin agama menerima bahwa Kenisah akan diterima sebagai cara untuk menyembah Allah sejauh Kenisah itu sejak awal memang dikuduskan dan dikhususkan sebagai tempat penyembahan kepada Allah, suatu tempat yang menandakan kehadiran Allah di tengah umatNya. Demikianlah akhirnya Kenisah dibangun. Kenisah itu dengan cepat menjadi pusat kota kudus Yerusalem. Kenisah itu dalam tahun-tahun berikutnya menjadi semakin besar, dibangun kembali, direhabilitasi, tetapi tetap menjadi inti dari penghayatan iman umat pilihan Allah.  Sebagian besar dari Mazmur ditulis untuk Kenisah. Empat ratus tahun kemudian, sekitar tahuh 580 seb.M., timbullah bencana besar ketika Yehuda dikalahkan oleh raja Babilon. Sebagian orang Yahudi diangkut ke Babilon sehingga Kenisah ditinggalkan terlantar dan tidak terurus. Ketika orang Yahudi 50/60 tahun kemudian kembali, mereka berharap akan menemukan suatu pusat ibadat yang besar seperti yang nenek moyang mereka ceriterakan, tetapi  yang mereka temukan adalah sebuah kota yang terlantar dan Kenisah yang telah roboh. Mereka membutuhkan dua puluh tahun untuk dapat membangun kembali Kenisah itu, meskipun hanya dalam ukuran yang jauh lebih kecil dan sederhana.
Selalu ada usaha dalam tahun-tahun berikutnya untuk mengembalikan Kenisah ke bentuk dan keindahan aslinya, khususnya untuk menjadikan kembali Kenisah sebagai pusat penghayatan kehidupan keagamaan. Ketika orang Siria pada abad sebelum kedatangan Tuhan kembali merobohkan Kenisah itu, orang-orang Yahudi kembali disadarkan akan makna Kenisah di dalam hidup mereka. Sesaat sebelum kelahiran Yesus dan Yohanes Pembaptis, Herodes, raja yang mencoba untuk membunuh bayi Yesus, memulai usaha pembangunan kembali Kenisah. Kenisah yang dibangun sangat megah. Kenisah yang dimasuki Zakariah (ayah Yohanes Pembaptis) termasuk kedalam tujuh keajaiban dunia.  Bertahun-tahun kemudian para murid Tuhan akan terkagum-kagum di dalam Kenisah ini. Tetapi Yesus menangisi Kenisah ini, karena Kenisah telah kehilangan makna sebagai tempat kehadiran Allah, meskipun Ia menyadari bahwa peranan Kenisah sudah tergantikan dengan kehadiranNya di atas bumi ini. Sejarah Kenisah ini berakhir ketika orang Roma pada tahun 73 M menghancurkannya. Secara spiritual peristiwa ini bukan lagi sebuah kehilangan, karena Kenisah tidak lagi dibutuhkan untuk mengantar kepada Allah. Kitab Wahyu menutup Kitab Suci dengan penglihatan akan Yerusalem yang baru: “Aku tidak melihat Kenisah di dalam kota, karena Kenisahnya adalah Tuhan Allah Yang Mahatinggi dan Anak Domba”. 
Kembali ke Elisabeth. Elisabeth menghadirkan sepenuhnya di dalam kandungannya umat Allah Perjanjian Lama. Seperti Kenisah sebagai tanda yang menghadirkan Allah di antara umatNya, tubuh Elisabeth mengandung dia yang akan menunjukkan Allah kepada dunia ini. Yohanes Pembaptis, yang dikandung oleh Elisabeth, melonjak kegirangan dengan menyadari kehadiran Yesus, yang ada di dalam kandungan Maria. Yohanes yang merupakan nabi terakhir Israel (umat Perjanjian Lama) menunjuk kepada Dia yang kemudian disebutnya “Anak Domba Allah”. Ia menghadirkan di dalam dirinya sekaligus menutup tradisi Kenisah Israel, tradisi yang mengingatkan umat bahwa Allah hadir di tengah-tengah mereka.
Kenisah tidak lagi dibutuhkan untuk menunjuk kepada Allah. Allah sudah ada di tengah-tengah kita. Rumah, keluarga, paroki dan hidup kita telah diubah menjadi Kenisah Allah yang baru. Kita harus menjaga agar rumah kita tetap kudus dan suci, karena itulah yang menjadi tahta Allah di dunia ini. Allah tidak hanya ada di antara kita, Ia ada di dalam kita, sebagaimana ia ada di dalam kandungan Maria pada hari yang berbahagia ketika Elisabeth bertemu dengan sanaknya ini.  
Maria, gadis yang sedang mengandung itu, memancarkan kegembiraan bukan hanya untuk Elisabeth, tetapi juga untuk hidup yang ada di dalam kandungannya. Maria mengidungkan Magnificat untuk Elisabeth, karena ia tahu apa yang Allah lakukan bersama dan di dalam dia. Ia telah mengangkatnya dari seorang gadis sederhana menjadi dia yang akan disebut bahagia oleh sekalian bangsa. “Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus”. Ia adalah perawan yang terberkati. Bunda Allah. “Siapakah aku ini sehingga ibu Tuhanku mengunjungi aku?” tanya Elisabeth.
Rencana Allah untuk menyelamatkan dunia mulai dengan Maria. Ia adalah teladan iman yang menjawab “ya” kepada Allah. Mungkin kita tidak menyadari bahwa Maria dapat juga mengatakan “tidak”. Ia juga dapat memberikan seribu alasan tarhadap jawaban “tidak” yang mungkin diberikannya, sebagaimana juga kita dapat memberikan seribu alasan, mengapa ini atau itu terlalu berat untuk kita. Tetapi Maria telah mengatakan “ya”.  Dan jawaban inilah yang telah mendatangkan penebusan untuk kita. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”