TAWAR HATI


HARI MINGGU BIASA XXIII
Pastor Sani Saliwardaya, MSC
Inpirasi Bacaan: Yes. 35:4-7a; Yak. 2:1-5; Mrk. 7:31-37
Pada suatu hari liburan, saya pergi mengunjungi seorang teman lama di suatu kota. Dia adalah teman kelas, bahkan teman satu bangku waktu di SMP dulu. Dia menikah dengan teman kami seangkatan tetapi beda kelas. Mereka dikaruniai 3 orang anak, 2 cowok dan 1 cewek,  yang semuanya sudah kuliah, bahkan yang sulung sedang menyelesaikan skripsinya. Rencananya saya hanya mau berkunjung saja tetapi karena sudah 35an tahun kami tidak berjumpa, mereka memaksa saya untuk bermalam satu malam di rumahnya. Sepanjang sore kami bernostalgia masa-masa kami di bangku sekolah sambil tertawa riang mengenang kejadian-kejadian masa lalu
Menjelang makan malam, sesudah kami berdoa makan bersama, tiba-tiba terdengar suara orang yang sedang bertengkar hebat dari rumah tetangga sebelah. Saya mendengar suara seorang wanita yang berteriak-teriak keras  dan suara seorang laki-laki yang juga tidak kalah kerasnya. Sementara di antara teriakan-teriakan itu terdengar juga suara tangisan dan ratapan anak wanita yang sepertinya berusaha melerai pertengkaran itu. 
Kami saling pandang. “Ada apa itu ?”, tanyaku kepada temanku. “Akh, biasa itu. Hampir tiap hari suara teriakan itu menjadi musik bagi kami”, jawab istri temanku sambil tersenyum. “Tiap hari ?”, tanyaku lagi. “Iya!”, tegasnya lagi. “Waktu pertama kali mendengar teriakan seperti itu, kami lari ke rumah sebelah karena kaget dan ingin tahu apa yang terjadi”, jawab temanku. “Tetapi, sekarang tiap kali mendengar teriakan seperti itu, kami diam saja di rumah. Kami sudah terbiasa dan kebal”, katanya terkekah. Kemudian sambil makan kami berbincang-bincang mengenai membangun relasi dan komunikasi suami-istri.  
Anak-anak mereka juga ikut bergabung dalam perbincangan kami sambil kadang-kadang mereka mengungkapkan pandangannya sendiri  tentang sikap papanya yang dianggap “cuek”. Papanya mengatakan bahwa dia cuek karena anak-anaknya terlalu banyak bicara dan meminta sesuatu.
Sikap “terbiasa dan kebal” terhadap suatu persoalan, atau sikap “cuek” terhadap suatu permintaan bisa disebabkan oleh pelbagai hal, baik yang muncul dari dalam diri sendiri  maupun yang muncul dari luar diri sendiri. 

Salah satu penyebab yang muncul dari luar diri sendiri adalah, seperti kisah tetangga temanku di atas, karena persoalannya tidak mau  diselesaikan. Artinya, tidak ada kemauan untuk saling membina dan memperbaiki suatu relasi dan komunikasi dengan benar. Segala persoalan hanya dipertengkarkan, tetapi tidak dicari solusinya karena masing-masing mau mencari kebenarannya sendiri. 
Persoalan yang sebenarnya diabaikan dan yang dipertengkarkan adalah kepentingan dan keinginan diri sendiri.
Sedangkan salah satu penyebab yang muncul dari dalam diri sendiri adalah sikap tidak mau tahu dengan segala persoalan. Inilah tipe orang enjoy live, yakni orang yang ingin menikmati hidupnya sendiri sehingga segala persoalan, bahkan persoalan diri sendiri pun tidak dianggap sebagai gangguan. Permasalahan satu-satunya yang ada dibenaknya adalah bila ada orang atau sesuatu yang dianggap bisa mengganggu keinginan menikmati hidupnya itu.
Sikap tidak mau tahu dengan segala persoalan dan sikap tidak mau menyelesaikan persoalan dalam bacaan I Minggu ini disebut sebagai sikap “tawar hati” (Yes.35:4).
Hati sebagai pusat hidup dan perasaan sudah menjadi tawar: tidak bisa merasakan apa-apa di luar dirinya lagi. Orang tawar hari hanya bisa merasakan apa yang diinginkannya sendiri. Orang yang tawar hati adalah orang yang “mati nilai rasa sosialitasnya”. Ketika seseorang tidak lagi bisa merasakan kebersamaan dengan sesamanya, maka rasa religiositasnya juga menjadi hambar: pengenalannya akan Yang Ilahi, akan Allah, menjadi luntur bahkan hilang sama sekali. Orang tawar hati menjadi orang yang mati secara sosial dan religious. Itulah yang dialami oleh sebagian bangsa Israel pada masa nabi Yesaya. Seruan-seruan nabi Yesaya akan pertobatan, akan Allah yang hendak menyelamatkan bangsa Israel – umat pilihan-Nya, ditanggapi dengan “tawar hati”. Artinya, diacuhkan, dibiarkan berlalu begitu saja, tidak didengarkan.

Dalam bacaan Injil Minggu ini, kisah mukjijat Yesus menyembuhkan orang yang “tuli dan gagap” (Mrk. 7:31-37) bisa juga memberi makna simbolik bagi kita.
“Tuli dan gagap” adalah simbol orang yang tidak mau mendengarkan dan tidak mau berkomunikasi dengan baik dan benar. Dia adalah orang yang tawar hati, orang yang mati rasa. Yesus menyembuhkan orang yang “tuli dan gagap” itu dengan cara “memisahkan dia dari orang banyak sehingga mereka sendirian, lalu Yesus meludah dan meraba lidah orang itu” (Mrk. 7:33)

“Memisahkan dari orang banyak dan mereka (Yesus dan orang itu) sendirian” adalah artinya menenangkan diri dalam Tuhan; membuat suatu refleksi diri, mawas diri, melihat diri sendiri di dalam Terang Kasih Tuhan.  Membandingkan diri dengan sikap dan hidup Tuhan.
“Meludah dan meraba lidah orang itu”. Ludah berfungsi untuk membuat lidah bisa basah dan merasakan sesuatu yang masuk ke dalam mulut. Ludah juga berfungsi untuk membantu melumatkan, menghancurkan sesuatu yang masuk ke dalam mulut.
Dengan meludah, Yesus membantu orang untuk ikut merasakan apa yang masuk ke dalam situasi hidupnya, dan membantu  menghancurkan / melumatkan persoalan persoalan hidupnya.
Sebagaimana orang yang “tuli dan gagap” itu sembuh setelah “dipisahkan dan disentuh lidahnya dengan air ludah Yesus”, maka orang yang “tawar hati” juga akan sembuh bila dia mau “melihat diri sendiri di dalam Terang Kasih Tuhan” dan menerima “bantuan sentuhan Tuhan untuk mau merasakan situasi hidupnya dan menghancurkan persoalan-persoalannya”.
“EFATA !”, semoga kita juga menjadi terbuka kembali dari sikap tawar hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”