MATI RASA


C. Hari Minggu Prapaskah IV
Yes. 6:9a, 10-12; 2Kor. 5:17-21; Luk. 15:1-3, 11-32.
Oleh Pastor Sani Saliwardaya, MSC

Felisia adalah seorang gadis remaja. Dia lari dan meninggalkan rumah kedua orang tuanya beberapa hari yang lalu karena bertengkar dengan ibunya. Mereka bertengkar karena masalah yang tidak terlalu penting. Felisia suka sekali membaca novel remaja. Mereka, Felisia dan ibunya, sudah membuat kesepakatan bahwa pada hari-hari ulangan umum dan ujian, Felisia akan mengurangi membaca novel dan akan lebih giat belajar.
Pada suatu saat, ketika sedang masa ulangan umum, Felisia melanggar kesepakatan itu. Ia membaca novel di kamar belajarnya. Dia meletakan novelnya di atas buku pelajaran sehingga tidak ketahuan kalau dia sementara membaca novel. Pada suatu hari, karena keasyikan membaca novel, dia tidak menyadari bahwa ibunya sudah berada di belakangnya. Sang ibu melihat Felisia sedang membaca novel, bukannya belajar. Sang ibu mengingatkan kesepakatan mereka dengan halus; tetapi sebaliknya Felisia marah besar dan menuduh ibunya melanggar privacy karena memasuki kamarnya tanpa mengetuk pintu lebih dahulu. Pertengkaran tidak dapat dihindarkan. Felisia lari meninggalkan rumah karena tidak dapat menahan emosinya.
Dalam kegalauannya itu Felisia bertemu dengan seorang bapa paruh baya. Melihat Felisia yang duduk lesu di taman, si bapa menyapa dan bertanya kepadanya tentang apa yang terjadi. Melihat ketulusan si bapa, Felisia pun menceritakan semua apa yang terjadi atas dirinya. Karena khawatir Felisia akan mengalami nasib yang lebih buruk, maka bapa itu membawa ke rumahnya dan menyerahkan kepada istrinya untuk diperhatikan. Felisia sangat terharu dengan pelayanan yang diberikan oleh suami-istri tersebut. Sambil menangis Felisa mengucapkan banyak terima kasih atas segala perhatian dan pelayanan yang mereka berikan kepadanya. Kemudian, bapa itu berkata kepadanya, “Anakku, Felisia! Kami memperhatikan dan melayanimu hanya satu hari saja dan kamu sudah menangis mengucapkan terima kasih berkali-kali! Tidakkah kamu memikirkan ayah dan ibumu sendiri? Mereka sudah memperhatikan dan melayanimu selama hampir 16 tahun sejak kamu lahir!  Pernahkah kamu mengucapkan terima kasih kepada mereka sambil menangis terharu? Anakku, dengarkan kata bapa baik-baik. Bapa dan ibumu pasti cemas dan bingung mencari kamu. Perhatian dan pelayanan kami kepadamu tidak sebanding dengan apa yang telah mereka berikan kepadamu. Kami tidak layak menerima ucapan terima kasihmu. Mereka, orang tuamu, lebih layak menerima air matamu. Anakku, pulanglah. Ibumu melakukan semuanya itu demi kebaikkan dan masa depanmu”. Felisia semakin terharu dengan ketulusan bapa itu. Sambil memeluk bapa itu, Felisa minta diantarkan pulang ke rumahnya. Dengan senang hati dan penuh kegembiraan, bapa dan ibu itu mengantarkan Felisia pulang ke rumahnya.
Betapa bahagianya kedua orang tua Felisia ketika melihat anaknya pulang dalam keadaan selamat. “Mama! Maafkan Felisia! Selama ini Felisia mati rasa terhadap kasih sayang mama!,” kata Felisia sambil memeluk mamanya dan menangis terisak-isak.
(disadur dan diceritakan kembali dengan bebas dari buku Why did Christ have to die, penulis Darlene Lehman)
        Mati rasa merupakan suatu ungkapan yang dipakai untuk melukiskan situasi batin seseorang yang tidak bisa lagi menangkap, melihat, dan merasakan kebaikan orang lain. Mati rasa adalah situasi batin seseorang yang tertutup oleh awan gelap kepentingan diri sendiri.
Bacaan Injil hari ini, khususnya kisah hidup tentang di anak bungsu dan si anak sulung, barangkali juga bagian dari mati rasa.
          Si bungsu, tidak bisa merasakan dan menangkap kebaikan bapanya sehingga dia menghambur-hamburkan warisan bapanya (ay.13). Teguran alam, yakni situasi kelaparan yang dialaminya di negeri orang (ay.14), menjadi pembuka bahkan pendobrak ketertutupan hatinya itu. Dobrakan alam itu bisa menyadarkan hatinya, membuka kembali daya rasa-nya untuk menangkap perhatian dan pelayanan bapanya selama ini (ay.15-19).
        Si sulung juga mengalami mati rasa. Meskipun selalu bersama dengan bapanya tetapi dia tidak bisa menangkap perhatian dan pelayanan bapanya (bsk. Ay.31) Dia terlalu asyik dan sibuk dengan pikirannya sendiri, bahwa bapanya tidak pernah memberikan “hadiah seperti yang dia inginkan” (bdk. ay. 29). Kesibukan dengan pikiran sendiri inilah yang membuat dia juga mati rasa terhadap situasi adiknya (bdk.ay.28,32).
          Mati rasa juga menjadi bagian dari hidup kita. Masa Prapaskah merupakan masa untuk menjadari dan menemukan di manakah, di bagian manakah batin kita yang sedang mati rasa? Mendobrak pintu ketertutupan hati dan menghidupkan kembali rasa perhatian dan pelayanan itulah bagian dari pertobatan kita.
Semoga mati rasa kita bisa kita sadari dan kita dobrak sehingga kita kembali menjadi orang-orang yang hidup rasa, yakni orang-orang yang peka untuk memberi perhatian dan pelayanan secara benar dan tulus seperti si bapa yang merawat Felisia dalam cerita di atas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”