HARI KOMUNIKASI SEDUNIA 2018


PESAN PAUS FRANSISKUS
PADA HARI KOMUNIKASI SEDUNIA


“Kebenaran akan memerdekakan kamu” (Yoh.8:32).
Berita Palsu dan Jurnalisme untuk Perdamaian

Image result for hari komunikasi sedunia 2018
Saudara-saudariku terkasih,
Komunikasi adalah bagian dari rencana Allah bagi kita dan merupakan cara yang hakiki untuk mengalami persahabatan (fellowship). Diciptakan seturut gambar dan rupa sang Pencipta, kita mampu mengekspresikan dan membagi semua yang benar, baik, dan indah. Kita mampu menggambarkan pengalaman-pengalaman kita sendiri dan dunia di sekitar kita, dan dengan demikian untuk menciptakan ingatan historis dan pemahaman tentang berbagai peristiwa. Namun ketika kita menyerah pada kesombongan dan egoisme kita sendiri, kita juga bisa mengubah cara menggunakan kemampuan kita untuk berkomunikasi. Hal ini dapat dilihat sejak masa paling awal, dalam kisah biblis tentang Kain dan Habel dan menara Babel (bdk. Kej.4:4-16; 11:1-9). Kapasitas untuk memelintir kebenaran adalah kondisi simptomatik (symptomatic condition) kita entah sebagai pribadi entah komunitas. Pada sisi yang lain, ketika kita setia pada rencana Allah, komunikasi menjadi ungkapan efektif pencarian kita yang bertanggungjawab akan kebenaran dan pencarian kita akan kebaikan.
Dalam dunia komunikasi dan sistem digital yang cepat berubah dewasa ini, kita sedang menyaksikan penyebarluasan apa yang telah dikenal sebagai “berita palsu”. Ini mengundang refleksi, yang membuat saya memutuskan untuk kembali membahas tema kebenaran pada Hari Komunikasi Sedunia ini yang sudah diangkat dari waktu ke waktu oleh para pendahulu saya, sejak Paus Paulus VI, yang Pesannya pada tahun 1972 mengambil tema: Komunikasi Sosial dalam Pelayanan Kebanaran”. Dengan cara ini, saya ingin berkontribusi bagi komitmen bersama kita untuk membendung penyebarluasan berita palsu dan untuk menemukan kembali martabat jurnalisme dan tanggungjawab personal para jurnalis untuk mengomunikasikan kebenaran.
1.        Apa yang “palsu” tentang berita palsu?
Istilah “berita palsu” telah menjadi objek diskusi dan debat yang besar. Pada umumnya, istilah itu mengacu pada penyebarluasan disinformasi (informasi yang salah) dalam media on line dan tradisional. Ia berkaitan dengan informasi yang salah, berdasarkan pada data yang tidak ada atau sudah dipelintir untuk mempengaruhi dan memanipulasi pembaca. Penyebarluasan berita palsu bisa demi mencapai tujuan tertentu, mempengaruhi keputusan politik, dan melayani kepentingan ekonomis.
Keefektifan berita palsu pertama-tama berkaitan dengan kemampuannya meniru berita yang nyata, kelihatannya masuk akal. Kedua, berita yang salah tetapi dapat dipercaya ini “suka menyalahkan (captious)” karena merebut perhatian orang melalui daya tarik stereotip-stereotip dan prasangka-prasangka sosial umum, dan mengeksploitasi emosi-emosi sesaat seperti kecemasan, rasa jijik, amarah, dan frustrasi. Kemampuan menyebarluaskan berita palsu seperti itu sering mengandalkan pemanfaatan manipulatif jaringan sosial dan cara berfungsinya. Kisah-kisah yang tidak benar dapat menyebar sangat cepat bahkan penangkal yang otoritatif gagal untuk mengatasi kerusakannya.
Kesulitan menelanjangi (unmask) dan menghilangkan berita palsu berkaitan juga dengan fakta bahwa banyak orang berinteraksi dalam lingkungan digital yang homogen tidak mampu membedakan perspektif dan opini. Disinformasi dengan demikian bertumbuh subur dalam absennya konfrontasi yang sehat dengan sumber informasi lain yang mampu secara efektif menantang prasangka-prasangka dan menciptakan dialog yang konstruktif; sebagai gantinya, ia berisiko mengubah orang menjadi kaki tangan yang gagap dalam menyebarluaskan gagasan-gagasan yang bias dan tidak berdasar. Tragedi disinformasi adalah bahwa ia mendiskreditkan orang lain, menempatkan mereka sebagai musuh, sampai mengutuk mereka dan mengobarkan konflik. Berita palsu adalah suatu tanda perilaku intoleran dan hipersensitif, dan hanya membawa kepada tersebarnya kesombongan dan kebencian. Itulah hasil akhir dari kebohongan.
2.        Bagaimana kita dapat mengenali berita palsu?
Tiada seorang pun dari kita yang bisa merasa dibebaskan dari kewajiban memerangi kesalahan-kesalahan ini. Ini bukan tugas mudah, karena disinformasi sering berdasarkan pada retorika yang dengan sengaja mengelak dan agak menyesatkan dan kadang dengan penggunakan mekanisme psikologis yang canggih. Upaya-upaya yang patut dipuji sedang dibuat untuk menciptakan program-program pendidikan yang bertujuan membantu orang menafsirkan dan menilai informasi yang disediakan oleh media, dan mengajari mereka untuk mengambil bagian aktif dalam membongkar kedok kebohongan, daripada secara tidak sadar berkontribusi dalam penyebaran disinformasi. Patut dipuji juga inisiatif-inisiatif kelembagaan dan hokum yang bertujuan mengembangkan regulasi untuk membatasi fenomena ini, untuk mengatakan tiada karya yang sedang dibuat oleh perusahaan-perusahaan teknologi dan media dalam menemukan kriteria baru untuk memverifikasi identitas-identitas personal yang tersembunyi di balik jutaan profil digital.
Namun, mencegah dan mengidentifikasi cara disinformasi bekerja juga menuntut suatu proses discerment yang mendalam dan hati-hati. Kita perlu menelanjangi apa yang bisa disebut “taktik ular” (snake-tactics), yang digunakan oleh mereka yang menyamarkan diri mereka untuk menyerang kapan dan di mana saja. Inilah strategi “ular licik” (crafty-serpent) dalam kitab Kejadian, yang pada awal kemanusiaan, menciptakan berita palsu (Cf. Kej. 3:1-15), yang menjadi awal sejarah tragis dosa  manusia, mulai dengan pembunuhan saudara yang pertama (cf. Kej. 4), dan terus berlanjut dalam kejahatan tak terhitung lainnya melawan Allah, sesama, masyarakat, dan ciptaan. Strategi “Bapak Kebohongan” (Yoh. 8:44) yang terampil ini, justeru peniruan, bentuk bujukan yang licik dan berbahaya yang perlahan-lahan masuk ke dalam hati dengan argumentasi-argumentasi yang palsu dan memikat.
Dalam cerita tentang dosa pertama, si penggoda mendekati perempuan dengan berpura-pura menjadi sahabatnya, yang sangat perhatian dengan kesejahteraannya, dan mulai dengan mengatakan sesuatu yang hanya sebagiannya benar: “Apakah Allah  sungguh mengatakan kepadamu untuk tidak memakan dari pohon apa pun di taman?” (Kej. 3:1). Dalam kenyataannya, Allah tidak pernah memberitahukan kepada Adam untuk tidak makan dari pohon apa pun, tetapi hanya dari satu pohon: “Dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat janganlah kamu makan” (Kej.2:17). Perempuan itu mengoreksi si ular, tetapi membiarkan dirinya masuk dalam provokasinya: “Dari pohon yang terletak di tengah taman Allah berkata, “Engkau tidak boleh memakannya atau menyentuhnya, nanti kamu mati” (Kej. 3:2). Jawabannya ditulis dalam kata-kata yang legalistik dan negatif; setelah mendengarkan sang penipu dan membiarkan dirinya masuk dalam fakta versi dia, si perempuan tersesat. Demikianlah dia mengindahkan kata-kata peneguhannya “Kamu tidak akan mati” (Kej 3:4).
Dekonstruksi sang penggoda kemudian berubah menjadi kebenaran: “Allah tahu bahwa pada hari kamu memakannya matamu akan dibuka dan kamu akan menjadi seperti allah, mengetahui yang baik dan yang jahat” (Kej.3:5). Perintah kebapakan Allah demi kebaikan mereka, dinodai oleh bujuk rayu musuh: “Perempuan itu melihat bahwa pohon itu baik untuk dimakan, memikat mata, dan menarik hati” (Kej.3:6). Episode biblis ini menerangi unsur hakiki bagi refleksi kita: tiada hal seperti disinformasi yang tidak berbahaya; sebaliknya, mempercayai kebohongan bisa mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan. Bahkan distorsi kebenaran yang kelihatannya kecil pun bisa memiliki akibat-akibat yang berbahaya.
Taruhannya adalah keserakahan kita. Berita palsu sering menjadi viral, menyebar sangat cepat sehingga sulit untuk dihentikan, bukan karena rasa berbagi (sense of sharing) yang menginspirasi media sosial, melainkan karena menarik bagi ketamakan tak terpuaskan yang dengan mudah ditimbulkan dalam diri manusia. Tujuan-tujuan ekonomis dan manipulatif yang mendukung disinformasi berakar pada kehausan akan kekuasaan, suatu hasrat untuk memiliki dan menikmati, yang pada akhirnya menjadikan kita korban dari sesuatu yang jauh lebih tragis; kuasa tipu daya si jahat yang berpindah dari satu kebohongan ke kebohongan lainnya untuk merampas kita dari kebebasan batiniah. Itulah mengapa pendidikan untuk kebenaran berarti  mengajari orang untuk melihat, mengevaluasi dan memahami hasrat terdalam dan kecenderungan-kecenderungan kita, supaya kita tidak menjadi buta terhadap apa yang baik dan menyerah pada setiap perncobaan.
3.        “Kebenaran akan memerdekakan kamu” (Yoh. 8:32)
Kontaminasi yang terus menerus oleh bahasa yang menipu bisa berakhir dengan mengelamkan hidup batiniah kita. Pengamatan Dostoevsky mencerahkan: “Orang yang membohongi diri mereka sendiri dan mendengarkan kebohongan mereka sendiri pada akhirnya membuat mereka tidak mampu membedakan kebenaran dalam diri mereka sendiri, atau di sekitar mereka, dan dengan demikian kehilangan semua rasa hormat bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Dalam keadaan tidak memiliki rasa hormat mereka berhenti mencintai, dan untuk mengisi dan mengalihkan diri mereka sendiri tanpa cinta, mereka memberi jalan bagi hasrat dan kesenangan yang kasar, dan tenggelam dalam bestialitas (kebinatangan) keburukan mereka, semua berawal dari membohongi orang lain dan diri mereka sendiri secara terus-menerus”. (The Brothers Karamazov, II, 2).
Jadi bagaimana kita membela diri kita sendiri? Penangkal yang paling radikal terhadap virus kebohongan adalah pemurnian (purifikasi) oleh kebenaran. Dalam Kekristenan, kebenaran bukan hanya realitas konseptual berkenaan dengan bagaimana kita menilai sesuatu, mendefinisikannya sebagai benar atau salah. Kebenaran bukan hanya menyatakan hal-hal yang tersembunyi, “mengungkapkan kenyataan”, sebagaimana istilah Yunani Kuno, aletheia (dari a-lethes, “tidak tersembunyi”) yang mungkin membuat kita percaya. Kebenaran melibatkan seluruh hidup kita. Dalam kitab suci, kebenaran membawa dalam dirinya pengertian; dukungan, soliditas, dan percaya, sebagaimana dinyatakan secara tidak langsung oleh akar kata “aman”, sumber dari ungkapan liturgis kita Amin. Kebenaran adalah sesuatu yang padanya kamu bisa bersandar, sehingga tidak jatuh. Dalam pengeritan relasional ini, satu-satunya yang sungguh-sungguh dapat diandalkan dan dipercaya—Dia yang dapat kita diperhitungkan—adalah Allah yang hidup. Oleh karena itu, Yesus dapat berkata: “Akulah kebenaran” (Yoh. 14:6). Kita menemukan dan menemukan kembali kebenaran ketika kita mengalaminya dalam diri kita dalam kesetiaan dan kepercayaan Dia yang mengasihi kita. Hanya inilah yang mampu membebaskan kita: “kebenaran akan memerdekakan kamu” (Yoh. 8:32).
Kemerdekaan dari kebohongan dan upaya menjalin relasi: dua unsur ini tidak dapat hilang kalau kata-kata dan gestur kita benar, otentik, dan dapat dipercaya. Untuk mencermati kebenaran, kita perlu mencermati apapun yang mendorong persekutuan (communion) dan mempromosikan kebaikan dari apapun yang cenderung mengisolasi, membagi dan menentang. Kebenaran, oleh karena itu, tidak sungguh-sungguh dipahami ketika dipaksakan sehingga menjadi impersonal, kecuali kalau ia mengalir dari relasi yang bebas antara pribadi-pribadi, dari saling mendengarkan satu sama lain. Kita juga tidak bisa berhenti mencari kebenaran karena kebohongan bisa selalu menyusup, bahkan ketika kita sedang menyatakan hal-hal yang benar. Suatu argumen yang tanpa cela, bisa benar-benar berdasarkan pada fakta yang tidak dapat disangkal, tetapi jika digunakan untuk menyakiti orang lain, dan untuk mencemarkan pribadi tersebut di mata orang-orang lain, betapapun benarnnya, itu tidaklah tulus (truthful). Kita dapat mengenali kebenaran pernyataan-pernyatan berdasarkan buah-buah yang mereka hasilkan: apakah mereka menimbulkan perselisihan, menciptakan perpecahan, mendorong pemisahan, atau pada sisi lain, mereka membangkitkan refleksi yang kaya dan matang yang menuntun kepada dialog konstruktif dan hasil-hasil yang berguna.

4.        Perdamaian adalah berita yang benar
Penangkal terbaik terhadap kebohongan bukanlah strategi, tetapi orang: orang yang tidak tamak tetapi siap mendengarkan, orang yang berusaha terlibat dalam dialog yang tulus sehingga kebenaran bertumbuh; orang yang tertarik oleh kebaikan dan bertanggung jawab terhadap cara mereka berbahasa. Jika tanggungjawab adalah jawaban terhadap penyebaran berita palsu, maka tanggung jawab berat berada pada pundak mereka yang pekerjaannya adalah menyiapkan informasi, yakni para jurnalis, pelindung berita. Dalam dunia sekarang ini, profesi merekalah, dalam segala pengertian, bukan sekadar sebuah pekerjaan, itu adalah sebuah misi. Di tengah hiruk pikuk makan dan mencari makan, mereka harus mengingat bahwa jantung informasi bukanlah kecepatannya diberitakan, atau pengaruhnya terhadap audiens, tetapi pribadi-pribadi. Menginformasikan orang lain berarti membentuk mereka; itu berarti bersentuhan dengan kehidupan orang lain. Itulah alasan mengapa memastikan akurasi sumber dan melindungi komunikasi adalah sarana yang nyata untuk mempromosikan kebaikan, melahirkan kepercayaan, membuka jalan bagi persekutuan dan perdamaian.
Maka dari itu, saya mengundang setiap orang untuk mempromosikan jurnalisme perdamaian. Dengan itu, saya tidak memaksudkan bentuk jurnalisme sakarin (manis) yang menolak mengakui adanya masalah-masalah serius atau noda-noda sentimentalisme. Sebaliknya saya memaksudkan suatu jurnalisme yang jujur dan bertentangan dengan kebohongan, slogan-slogan retoris, dan headline (judul berita) sensasional. Suatu jurnalisme yang diciptakan oleh manusia untuk manusia, yang melayani semua, terutama mereka—dan mereka adalah mayoritas di dunia kita—yang tidak bersuara. Suatu jurnalisme yang tidak terlalu berkonsentrasi pada penyampaian/warta berita (breaking news) daripada eksplorasi sebab-sebab mendasar konflik-konflik, untuk membangkitkan pemahaman yang lebih mendalam dan menyumbangkan resolusi dengan menerapkan proses-proses yang bijak. Suatu jurnalisme yang berjuang menunjukkan alternatif terhadap pertengkaran (shouting matches) dan kekerasan verbal.
Untuk tujuan ini, dengan mengambil inspirasi dari sebuah doa Fransiskan, kita dapat berpaling kepada Kebenaran secara pribadi.
Tuhan, jadikanlah kami sarana damai-Mu
Bantulah kami mengenali kejahatan tersembunyi dalam komunikasi yang tidak
membangun persekutuan.
Bantulah kami untuk menghapus racun dari penilaian-penilaian kami.
Bantulah kami untuk berbicara tentang orang lain sebagai saudara dan saudari kami.
Engkau benar dan dapat diandalkan; semoga kata-kata kami menjadi benih-benih
kebaikan bagi dunia:
di mana ada keributan bantulah kami untuk belajar mendengarkan;
di mana ada kebingunan jadikanlah kami menginspirasi harmoni;
di mana ada ambiguitas, jadikanlah kami pembawa kejelasan;
di mana ada pengucilan, jadikanlah kami pembawa solidaritas;
di mana ada sensasionalisme, jadikan kami pembawa ketenangan hati;
di mana ada superfisialitas, biarkanlah kami mengajukan pertanyaan nyata;
di mana ada prasangka, biarkan kami membangun kepercayaan;
di mana terjadi permusuhan, jadikan kami pembawa rasa hormat;
di mana ada kepalsuan, jadikan kami pembawa kebenaran,
Amin.

Fransiskus

Diterjemahkan oleh: Jerry Nardin, CMF
Jogja, 26-27 Januari 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”