HIDUP EKARISTIS HIDUP BERBAGI
Oleh: Pastor Sani Saliwardaya, MSC
Inspisari Bacaan:
Kej. 14:18-20; 1Kor.11:23-26;
Luk. 9:11b-17
Pada hari raya Tubuh dan
Darah Tuhan, kita diajak untuk merenungkan tentang makna Ekaristi dalam
kehidupan harian kita. Kita akan merenungkannya melalui bacaan II dan Injil
hari ini.
Korintus adalah sebuah kota pelabuhan besar dan ternama
serta memiliki banyak jumlah penduduk. Di kota pelabuhan ini, yang menjadi
sarang kebudayaan Yunani, banyak terdapat aliran-aliran filsafah dan agama. Tetapi
di lain pihak, di kota ini juga banyak ditemui kebejatan susila yang membuat
nama kota Korintus menjadi kurang baik. Motivasi Paulus menyebarkan kekristenan
ke Korintus berkaitan dengan situasi kota tersebut. Paulus berharap,
orang-orang dari pelbagai wilayah yang singgah di kota ini dapat mendengarkan
berita tentang Kristus sehingga mereka dapat memberitakannya kembali di wilayah
mereka masing-masing (bdk. 2Kor.1:1, 9:2). Di Korintus, Paulus menghadapi
pelbagai tantangan. Selain berhadapan dengan pelbagai Dia memang berhasil
mendirikan jemaat Kristen tetapi kebanyakan dan terutama di kalangan masyarakat
rendahan (bdk. 1Kor. 1:26-28). Karena
itulah, Paulus banyak sekali memberikan petunjuk-petunjuk praktis bagi mereka
(bdk. !kor. 5-11).
Bacaan II hari ini berbicara tentang kebiasaan-kebiasaan
yang salah dalam perjamuan malam. Suatu kebiasaan baik yang terjadi dalam jemaat
Korintus ialah bahwa pertemuan-pertemuan berjemaat mereka seringkali
dilanjutkan dengan perjamuan makan bersama. Masing-masing orang membawa
makanannya kemudian dikumpulkan untuk disantap bersama. Seperti dikatakan di
atas, bahwa kebanyakan jemaat Korintus berasal dari masyarakat rendahan dan
miskin sehingga tidak setiap kali mereka bisa membawa makanan untuk perjamuan
makan bersama. Karena itulah mulai muncul konflik-konflik di antara mereka
(bdk. 1Kor. 11:18), antara yang membawa makanan dan yang tidak membawa makanan
(ay. 21), antara yang kaya dan yang miskin (ay.22). Paulus melihat bahwa
pertemuan semacam itu tidak akan mendatangkan kebaikan, tetapi sebaliknya
keburukan (ay,17). Paulus mengajak mereka untuk memusatkan perhatian mereka
bukan pada hal makan dan minum lahiriah, melainkan pada perjamuan Tuhan
(ay.23-26); setidak-tidaknya Paulus mengajak mereka agar perjamuan Tuhan menjadi
model dari perjamuan makan dan minum lahiriah mereka (ay.27). Paulus mengajak
mereka untuk mawas diri, menguji diri sendiri bukannya saling menilai
(ay.28-30), agar tidak terjerumus dalam kepentingan duniawi (ay.31-32)
melainkan tetap mengarahkan diri pada kepentingan saudara-saudari yang lebih
membutuhkan (ay.33-34). Paulus mengajak agar pertemuan-pertemuan jemaat
Korintus dijiwai oleh semangat berbagi.
Semangat berbagi juga dikisahkan dalam Injil hari ini.
Kisah perbanyakan roti ini diceritakan oleh semua penginjil (Mat. 14:13-21; Mrk.
6:30-44; Yoh. 6:1-14) dengan beberapa perbedaan yang dapat saling melengkapi. Persamaan
di antaranya yang menarik perhatian saya ialah jumlah asal mula makanan yang
digandakan, yakni “yang ada pada kami tidak lebih dari pada lima roti dan dua
ikan” (Luk. 9:13; Mrk. 6:38b; Mat. 14:17; Yoh. 6:9). Dan Injil Yohanes
menambahkan, “tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?” (ay. 9b).
Persamaan yang berikutnya yang menarik untuk dicermati adalah rasa syukur atas
makanan yang sedikit itu. “Dan setelah Ia mengambil lima roti dan dua ikan itu,
Ia menengadah ke langit, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan
memberikan kepada murid-murid-Nya supaya dibagi-bagikan kepada orang banyak”
(Luk. 9:16; bdk.Mrk. 6:41; Mat. 14:19; Yoh. 9:11).
Ada satu penafsiran terhadap kisah penggandaan roti ini
yang bisa kita renungkan. Ada kebiasaan bagi orang Yahudi untuk selalu membawa
bekal ketika melakukan perjalanan. Demikian pula, ketika mereka pergi untuk
mendengarkan kotbah Yesus. Pada saat itu terkumpul banyak orang, “ada kira-kira
lima ribu orang laki-laki” (bdk. Luk. 9:14). Ketika pada saat hendak makan
malam tampaknya belum ada seorang pun yang berani memulai menunjukkan dan
membuka bekalnya untuk makan. Mereka saling menunggu. Sampai akhirnya, ada
seorang anak kecil yang memulai membuka bekalnya. “Di sini ada seorang anak
yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan” (Yoh. 9:9). Termotivasi oleh sikap
anak kecil itulah, maka mereka pun mulai membuka bekal masing-masing, mengumpulkannya
dan memakannya bersama-sama, sehingga orang-orang yang “lupa” membawa bekalpun
dapat ikut menikmatinya sampai kenyang; bahkan ada sisa sebanyak “dua belas
bakul penuh”.
Hari Raya Tubuh dan Darah Tuhan merupakan perayaan
liturgis yang diarahkan untuk merenungkan makna Perayaan Ekaristi. Dalam
Perayaan Ekaristi kita menerima Tubuh Kristus dalam rupa roti yang telah
diberkati, Hosti Kudus. Memang, tidak terjadi peristiwa perbanyakan roti dalam
setiap Perayaan Ekaristi, tetapi tindakan yang terjadi sama: yakni Yesus
mengucap syukur atas roti, memberkati, dan membagi-bagikan kepada semua yang
hadir. Dalam Perayaan Ekaristi hadirin tidak mengalami kekenyangan lahiriah,
tetapi kepuasan rohani, bersatu secara mistik dengan Kristus. Kesatuan dan
kepuasan rohani inilah yang menjadi kekuatan hidup kita. Hidup yang dijiwai
oleh Perayaan Ekaristi, yakni Hidup Ekaristis. Dan sebagaimana roti yang
dibagi-bagikan, Hidup Ekaristis semestinya juga menjadi Hidup Berbagi.
Kita tidak usah menjadi sempurna terlebih dahulu agar
bisa hidup berbagi. Sekecil apapun milik kita, jika kita syukuri sebagai berkat
Tuhan dan kita rela bagikan kepada orang lain maka akan mendatangkan kepuasan
bagi orang yang menerimanya. Ada satu
ungkapan dalam bahasa latin, non multa sed multum, yang berarti,
bukan masalah jumlahnya atau kwantitasnya, tetapi mutunya atau kwalitasnya yang
lebih penting. Demikian pula jika kita hidup berbagi. Bukan masalah berapa
banyak yang bisa kita bagikan kepada orang lain, tetapi seberapa tulus dan
iklhasnya kita mau dan rela berbagi, itulah yang menentukan semangat Hidup
Ekaristis, semangat Hidup Berbagi.
Komentar
Posting Komentar