Sikap dan tindakan sebagai pancaran sikap hati
HARI MINGGU BIASA KE-32
Inspirasi dari Markus 12:38-44
Oleh: Paulus
Tongli, pr
Berhubung karena bacaan injil pada hari Minggu ini hanya
mengambil satu bagian kecil dari rangkaian pesan yang ingin disampaikan, maka
untuk memahami pesannya, hendaknya kita membaca keseluruhan pasal atau
keseluruhan bagian yang dikutip. Bagian yang kita bacakan hari ini ada di bawah
judul: Persembahan seorang janda miskin, dan berada di dalam bingkai pasal 11
(Tiga hari terakhir Yesus di Yerusalem) dan 13 (Kotbah tentang akhir jaman).
Dari situ sudah tampak bahwa kutipan ini pasti mengenai suatu yang sangat
penting. Dan persoalan penting yang dibahas di dalam perikop ini adalah tentang
masalah kesucian: kesucian yang sebenarnya dan kesucian yang palsu.
Setiap agama berhubungan erat dengan hal-hal yang menyangkut
pengungkapan permenungan manusia tentang perasaan terdalam, kehendak dan
keinginannya. Dan kita yakin bahwa di dalam wilayah religius, kita berada di
dalam kontak dengan Allah. Tetapi Allah akhirnya adalah sebuah misteri yang
tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Itulah sebabnya semua tanda yang kita
gunakan harus memiliki makna yang menunjuk kepada yang ditandakan, yang tidak
terungkap dengan bahasa. Di mana dan ketika kita tidak menemukan kata-kata
lagi, atau kata-kata yang kita gunakan tidak memadai, hal-hal yang tampak,
tindakan dan tanda memuat makna yang mendalam.
Bila kita melihat sejarah agama-agama, sebagaimana juga
sejarah kekristenan, akan tampak dengan jelas bahwa semakin banyak bentuk dan
tanda yang telah digunakan turun temurun yang menjadi semakin kosong, yang
tidak lagi mengungkapkan makna. Namun orang tidak berani menggantikannya dengan
bentuk-bentuk yang baru. Orang tetap menggunakannya, meskipun orang tidak lagi
menangkap makna pengungkapan atau kebiasaan ini. Contohnya: mungkin kita pernah
bahkan mungkin sering mengalami bahwa kita membuat tanda salib, pergi menyambut
komuni, berdoa dan tidak ada sesuatu yang terjadi di dalam hati kita. Kita
telah menjadi terbiasa dengan gerakan dan kata-kata seperti itu, sehingga
menjadi suatu mekanisme yang dapat berlangsung tanpa banyak disadari maknanya.
Kita mungkin tidak merasakan apa-apa, tetapi karena kita bersama dengan yang
lain sedang mengikuti perayaan Ekaristi misalnya, kita tetap ikut berdiri atau
berlutut, membuat tanda salib dan pergi komuni. Semua tanda dan tindakan suci
ikut kita lakukan, tetapi tanpa kesadaran penuh bahwa saya sedang melakukannya.
Inti pesan dari kutipan injil hari ini persis mengungkapkan hal ini, yang dapat
dirumuskan sbb.: ketika bentuk-bentuk lahiriah dan penghayatan batiniah tidak
lagi terhubungkan, agama hanya akan menjadi pertunjukan sakral.
Kita berhadapan dengan kenyataan bahwa agama membutuhkan
ungkapan lahiriah, tetapi di lain pihak ungkapan lahiriah dengan mudah dapat
menjadi “pertunjukan” sakral. Kita dapat mengungkapkan berbagai macam contoh
untuk menunjukkan bagaimana liturgi dengan mudah dapat dipandang hanya sebagai
tindakan-tindakan sakral lahiriah tanpa mewakili hubungan yang intim manusia
dengan Allah. Hari ini kita mendengar peringatan yang jelas dari Yesus: "Hati-hatilah
terhadap ahli-ahli Taurat”, artinya hati-hatilah terhadap para pemimpin rohani
di dalam masyarakat. Orang tidak boleh mengerti salah kritik ini, apalagi
langsung mencari dan menunjuk orang tertentu sebagai alamat kritik ini,
meskipun mungkin ada keterarahan ke sana. Yesus mengalamatkan kritik ini kepada
Ahli Taurat untuk menjelaskan bahwa status sosial yang diperoleh mereka karena
jabatan mereka tidak menambahkan sesuatu ke pada hubungan dengan Allah. Orang
kaya dari kelimpahan miliknya menganggap persembahan uang sebagai ungkapan
kebaktiannya kepada Allah, dan mereka melakukannya sedemikian agar orang lain
melihatnya, namun bagi Allah hal itu sama sekali tidaklah menduduki tempat yang
penting.
Kritik Yesus yang keras terhadap para ahli Taurat dan bahaya
akan tindakan sakral yang kosong tampak dalam ucapan-ucapan Yesus yang semakin
menanjak. Seorang ibu, yang bila dibandingkan dengan para ahli taurat dan
orang-orang kaya di dalam lingkungan Timur Tengah, secara sosial tidak berarti
apa-apa. Status itu menjadi semakin tidak berarti, karena ia tidak lagi
memiliki suami yang dapat memberinya perlindungan. Secara harafiah Yesus
menunjukkan apa itu kesucian dan ukuran mana yang harus digunakan untuk
menunjukkan hal ini. Dengan menempatkan seorang anggota yang paling lemah di
dalam masyarakat, Yesus mau mengoreksi ukuran yang biasanya digunakan. Ukuran
yang paling menentukan dari ungkapan kekudusan, adalah sikap hati yang terbuka
atau kerinduan yang paling dalam dari manusia akan Allah. Tentu harus
ditambahkan bahwa sangat sulitlah untuk mengenakan ukuran ini pada orang lain. Juga
harus dikatakan bahwa persembahan atau derma untuk Gereja yang diperuntukkan
bagi kegiatan-kegiatan ibadat dan sosial tentu akan sangat mulia. Tetapi yang
dimaksudkan di sini adalah jangan sampai kita menggantikan sikap hati kita
dengan materi yang dapat kita berikan seberapa banyak pun. Materi ataupun
tindakan lahiriah haruslah merupakan ungkapan kerelaan dan keterbukaan hati
kepada Allah yang kita yakini begitu dekat dan mencitai kita.
Kriteria baru yang Yesus tunjukkan di sini haruslah menjadi bahan
introspeksi diri bagi Gereja dan kita semua akan apa yang kita lakukan dan
sikap hati yang kita miliki. Sangatlah penting bahwa kita semua dapat
meletakkan ukuran itu bagi diri kita sendiri. Tentu bukan hanya persembahan
yang dimaksudkan di sini, tetapi setiap tindakan yang kita lakukan sebagai
ungkapan iman kita haruslah secara pribadi kita nilai berdasarkan sikap hati
kita. Pertanyaan penuntun yang mungkin dapat membantu kita adalah: apakah
doa-doaku, sikapku di hadapan Tuhan dan persembahanku/pengorbananku sungguh
merupakan ungkapan syukur dan kerinduanku akan Tuhan, dan tidak sekedar asal
dilihat orang? Semoga usaha kita untuk terus menerus berbenah diri semakin lama
semakin mempersatukan kita dengan Tuhan dan membuahkan kedamaian di dalam hidup
kita.
Semoga ungkapan pemazmur: “Seperti rusa yang merindukan
sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah. Jiwaku haus
kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah”
juga merupakan ungkapan kita. Kerinduan akan Allah itulah yang menjadi motivasi
kita dalam setiap tindakan religius kita. Amin.
Komentar
Posting Komentar