Bersaing atau Bersaudara?
Hari Minggu Biasa ke-26
Bil. 11:25-29; Yak. 5:1-6; Mrk
9:38-43.45.47-48
Paulus Tongli, Pr
Sering orang bertanya, agama
mana yang benar? Pertanyaan ini sering mengusik saya, lalu bertanya sebaliknya:
adakah agama yang tidak benar? Dalam kenyataannya, lembaga-lembaga agama yang
ada, baik yang besar dan sudah tua maupun yang kecil-kecil dan masih seumur
jagung, sering bersaing memperebutkan pengikut. Di balak persaingan itu ada
“claim” diri sebagai agama yang paling benar.
Claim itu sah-sah saja, sejauh mendorong para
penganutnya untuk semakin memiliki komitmen hidup seturut kebenaran yang
di-claim itu. Claim yang demikian akan mempersatukan para penganut agama.
Tetapi kalau claim itu justru memprovokasi para penganutnya untuk membatasi ruang
gerak, apalagi melarang orang lain berbeda keyakinan untuk melakukan atau
mengungkapkan hal atau rumusan tertentu, maka claim itu akan mengkotak-kotakkan
orang dan menjauhkan para penganut agama yang satu dari yang lain.
Bacaan injil dan bacaan
pertama hari ini mengungkapkan kisah yang sangat mirip. Para murid Yesus dalam
injil Markus gusar melihat ada orang yang tidak tergabung ke dalam kelompok
mereka mengusir setan demi nama Yesus. Mereka berkehendak mencegahnya.
Yesus di
lain pihak memiliki pandangan yang berbeda. “Tak seorang pun yang telah
mengadakan mujizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku. Barang
siapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita”. Dengan ungkapan ini Yesus
menunjukkan bahwa pengakuan iman itu tidak selalu eksplisit. Orang yang dapat
melakukan mukjizat dalam nama Yesus, tentulah yakin akan kuasa Yesus, sehingga
lewat dia pun kuasa itu dapat efektif. Bukankah Yesus selalu menjelaskan cara
kuasa itu menjadi efektif, yakni melalui iman atau keyakinan (bdk Mrk 5:34; 10:52;
Luk 7:50; 8:48, dll)? Bacaan pertama juga mengungkapkan hal yang mirip. Eldad
dan Medad meskipun namanya tercatat dalam kelompok 72 tua-tua Israel, namun
mereka tidak ikut serta dalam pertemuan di kemah, ketika Tuhan mencurahkan Roh
nabi kepada tua-tua Israel. Tetapi ternyata Roh itu pun hinggap atas mereka dan
mereka pun penuh dengan Roh seperti nabi di tempat perkemahan. Ketika Yosua
hendak mencegah mereka, Musa melarangnya dengan ungkapan, “Ah, sekiranya
seluruh umat Tuhan menjadi nabi, karena Tuhan memberikan Roh-Nya kepada
mereka”.
Jadi baik Yesus maupun Musa
berusaha untuk membangun sikap terbika di antara para pengikutnya. Orang tidak
bisa membatasi karya Allah . Allah berkarya dengan cara yang seringkali tidak
dimengerti oleh manusia. Dia berkarya di dalam diri siapa saja yang dipilihNya,
dalam semua budaya dan bangsa yang membuka dirinya terhadap karya Allah itu.
Kita yang hidup di tengah
masyarakat yang sangat plural seperti di Indonesia ini juga dihadapkan pada
tantangan yang sama. Masihkah kita juga memiliki pandangan yang tertutup
terhadap orang-orang yang berada di luar kelompok kita? Sebenarnya sejak
konsili Vatikan II Gereja sudah mengajak kita, warga Gereja, untuk mengadakan
refleksi dan membuka pandangan kita akan realitas ini. Pandangan “extra
ecclesiam nulla salus” sudah dikoreksi. Kemahakuasaan dan Kemahamurahan Allah
dijunjung tinggi, dan karenanya kita tidak dapat membatasi karya-Nya. Ia
berkarya di dalam kebebasan kehendak-Nya bukan dalam batas-batas yang dibuat
oleh manusia.
Di sini patutlah disinggung
ungkapan Mahatma Gandhi ketika ia bertugas sebagai seorang ahli hukum di Afrika
Selatan. Ia yang kala itu menjadi simpatisan orang Kristen, bahkan pernah
berniat untuk menjadi Kristen, mengalami suatu perlakuan yang sangat
mengecewakan di sebuah gereja. Ia ditolak masuk ke sebuah gereja, hanya karena
ia berkulit coklat (akibat politik apartheid).
Di dalam kekecewaannya ia
berkata, “semakin banyak saya menjumpai orang yang beragama Kristen, semakin
sedikitlah orang Kristen yang saya temui”. Di dalam ungkapan ini dibedakan
antara orang yang beragama Kristen (eksplisit mengakui iman Kristen) dengan
orang Kristen (yang menghidupi ajaran Kristus). Ungkapan ini sebenarnya
merupakan kritik terhadap orang yang hanya mengaku Kristen tetapi tidak hidup
seturut imannya. Orang Kristen yang sejati haruslah menghidupi imannya/hidup
seturut imannya.
Kembali ke pertanyaan awal
kita tadi: agama mana yang benar? Pertanyaan ini sebenarnya keliru, karena
semua agama benar menurut para penganutnya masing-masing. Paham bisa
berbeda-beda, namun semua agama tentu mengajarkan kebenaran. Kalau semua
penganut agama hidup menurut kebenaran yang diajarkan agamanya, dan dengan
rendah hati mau membuka diri, karena tahu bahwa orang lain juga mencari
kebenaran dan berusaha untuk hidup seturut kebenaran ini, maka kita semua akan
sampai pada titik temu yang
mempersatukan. Pertanyaan tadi harusnya diubah: “sikap beragama mana yang
benar?”
Seringkali kita bertemu dengan
orang yang berbeda keyakinan dengan kita, tetapi melakukan kebaikan yang mirip
atau bahkan persis sama dengan ajaran Yesus. Kita tidak boleh menilai mereka
sebagai ikut-ikutan. Kalau kita ingin menjali hubungan baik dengan para
penganut agama lain, kebaikan dan sikap moral seperti itulah yang dapat menjadi
titik temu dan titik start. Tugas kita adalah mencari dan menemukan nilai-nilai kristiani yang ada di dalam agama
lain dan kebudayaan-kebudayaan melalui dialog dengan mereka.
Dengan membangun
sikap terbuka dan dialog yang demikian, akan semakin terasalah bahwa kasih dan
kebaikan akan mempersatukan kita semua sebagai saudara. Kita pun dapat
menghayati hidup bersama sebagai “sharing” kebaikan Allah.
Komentar
Posting Komentar