SURAT GEMBALA PRAPASKAH 2020 - MEMBANGUN KEHIDUPAN EKONOMI YANG BERMARTABAT
Kepada para Pastor, Biarawan-Biarawati dan segenap Umat beriman Katolik Keuskupan Agung Makassar, salam sejahtera dalam Kristus Yesus, Tuhan dan Penyelamat kita! Rabu Abu sebagai awal Masa Prapaskah tahun 2020 ini jatuh pada tanggal 26 Februari. Adapun tema APP Nasional tahun ini berbunyi: “Membangun Kehidupan Ekonomi Yang Bermartabat”. Di bawah ini kita ingin merenungkan tema ini melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) Kerumitan dan Ketidakadilan dalam Kehidupan Ekonomi Dewasa Ini; (2) Kehidupan Ekonomi Yang Bermartabat; (3) Gerakan Pertobatan, Membangun Kemandirian di Bidang Ekonomi.
(1)
Kerumitan dan Ketidakadilan dalam
Kehidupan Ekonomi Dewasa Ini
Add caption |
Sesungguhnya kerumitan dan ketidakadilan
yang semakin marak dalam kehidupan ekonomi masyarakat dimulai sejak abad ke-19.
Kemajuan industri dan ilmu pengetahuan saling menunjang dalam melahirkan
revolusi teknologis industri, yang secara harafiah mengubah muka bumi. Sejak
itu manusia semakin menampakkan superioritasnya
atas alam. Alam diperlakukan seakan sebagai tambang yang dapat dikuras sehabis-habisnya demi
kepentingan manusia, khususnya di bidang kebutuhan materiil (ekonomi). Tak heran berkembanglah sebuah ilmu pengetahuan dan
teknologi buta (tanpa etika), yang pada gilirannya melahirkan suatu budaya ekonomistik konsumeristik yang tidak
sehat.
Di tahun 1960-an, para Bapa
Konsili Vatikan II sudah mencermati adanya “faktor-faktor yang menimbulkan
kegelisahan. Tidak sedikitlah orang, terutama di wilayah-wilayah yang maju
perekonomiannya, yang agaknya seperti dikuasai oleh soal ekonomi. Akibatnya
ialah, bahwa hampir seluruh hidup mereka secara pribadi dan sebagai anggota
masyarakat diresapi oleh semangat ‘ekonomisme’, baik pada bangsa-bangsa yang mendukung
kolektivisme ekonomi, maupun pada bangsa-bangsa lain” (GS, 63).
Nafsu memiliki materi sebanyak-banyaknya telah menyebabkan
ketidak-seimbangan
sangat parah menyangkut pembagian kekayaan bumi di antara penduduk bumi itu
sendiri. Sebagaimana seringkali dikatakan, 80% kekayaan bumi dimiliki oleh 20%
penduduk bumi, dan hanya 20% kekayaan bumi dimiliki oleh 80% penduduk bumi. Di
era globalisasi dewasa ini, pengembangan ekonomi dikendalikan oleh sistem
“pasar bebas”, yang ciri utamanya ialah mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Dunia industri terus-menerus menawarkan produk-produk baru, dan masyarakat
merasa harus memilikinya agar tidak dianggap ketinggalan zaman. Ini melahirkan
suatu gaya hidup baru, yang disebut konsumerisme.
Dalam dunia materialistik – konsumeristik
seperti ini, UANG menjadi unsur yang menentukan. Segala-galanya bisa dibeli
dengan uang. Oleh karena itu, orang berupaya memiliki uang sebanyak-banyaknya
dengan segala macam cara, termasuk korupsi. Uang telah menjadi seakan ilah baru,
menggantikan Ilah sesungguhnya (Allah). Bahkan tampaknya gejala ini telah
merasuk ke dalam hidup beragama, seperti yang tampak dalam apa yang dikenal
dengan nama “Teologi Sukses” dan “Teologi Kesejahteraan”. “Teologi” ini
sesungguhnya merupakan ajaran yang mendewakan kesuksesan dan kesejahteraan
material, di mana Allah diperlakukan sebagai ‘alat’ untuk mencapainya.
Pengembangan ekonomi dengan
sistem “pasar bebas” murni menyebabkan yang kaya akan semakin kaya dan yang
miskin akan semakin miskin. Dalam sistem “pasar bebas”, hanya mereka yang
memiliki modal besar yang mampu bersaing, sedangkan yang bermodal kecil akan
semakin terpuruk; apalagi mereka yang tidak memiliki modal sama sekali, selain
tenaga manusia kasar, tak terdidik: para buruh. Sudah di tahun 1981 dalam
Anjuran Apostolik ‘Familiaris Consortio’,
Paus Yohannes Paulus II menegaskan: “Di negara-negara ‘Dunia Ketiga’
keluarga-keluarga sering tidak mempunyai upaya-upaya yang sungguh dibutuhkan
untuk mempertahankan hidup, misalnya: nafkah, pekerjaan, perumahan dan
obat-obatan, serta kebebasan-kebebasan yang elementer” (FC,6). Tiga puluh empat
tahun kemudian, keprihatinan yang sama diulangi lagi dalam Lineamenta Sinode Uskup XIV, tahun 2015, dengan kata-kata: “Juga
ada perasaan umum ketidakmampuan menghadapi kenyataan sosio-ekonomi yang
kerapkali berakhir pada kehancuran keluarga” (no. 6). Dan negeri kita,
Indonesia, belum terbebas dari gejala memprihatinkan ini. Inilah ironi sebuah
negeri nan subur dan kaya sumber daya alam, tetapi yang sebagian besar rakyatnya
masih menderita kemiskinan, antara lain karena momok korupsi.
(2)
Kehidupan Ekonomi Yang Bermartabat
Menurut Kitab Suci, pada
mulanya Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya, termasuk manusia. Jadi
jati diri Allah yang pertama diwahyukan dalam Kitab Suci ialah Allah sebagai Pencipta. Tentang manusia ditegaskan,
“Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya…;
laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej. 1:27). Jadi menurut Kitab
Suci, manusia itu adalah gambar, rupa, citra atau cermin Allah. Nah, kalau jati
diri utama Allah adalah Pencipta, maka sebagai citra Allah manusia juga pada
hakekatnya memiliki sifat kreatif. Dan sebagai konsekwensinya, semakin manusia
memperlihatkan kemampuan kreatifnya, seharusnya semakin menampakkan kemuliaan
Allah, Penciptanya (dan bukan semakin menyingkirkan Allah dari ciptaan-Nya!).
Tetapi martabat citra Allah itu dirusak oleh dosa manusia, namun dipulihkan
(ditebus) dan disempurnakan dalam inkarnasi Kristus, “gambar Allah yang tidak
kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan” (Kol. 1:15;
lih. jg: Yoh. 1:18; 14:9; Ibr. 1:3). Oleh karena itu, Ireneus dapat berkata, “Gloria Dei vivens homo”, “(Adalah)
kemuliaan Allah bahwa manusia hidup”.
Selanjutnya, manusia yang
diciptakan menurut citra Allah itu ditempatkan Allah di taman Eden, yang telah
dibuat oleh-Nya (Kej. 2:8). Untuk apa? Untuk “mengusahakan dan memelihara taman
itu” (Kej. 2:15). Secara figuratif, taman Eden yang dibuat Allah itu adalah
bumi dan isinya yang harus diusahakan dan dipelihara manusia demi untuk
kesejahteraan manusia itu sendiri.
Demikianlah, dari kisah
penciptaan mencuat dua fakta dan kebenaran azasi yang harus selalu disadari oleh
manusia, siapa pun dia. Pertama,
bahwa manusia itu tidak berasal dari dirinya sendiri. Hidup manusia itu pada
hakekatnya adalah pemberian; pemberian dari orang tua, ibu-bapak. Tetapi hidup
ibu-bapak juga adalah pemberian …; sedemikian sehingga awal-awalnya hidup
manusia itu adalah pemberian dari Allah yang menciptakannya. Kedua, apapun yang dimiliki setiap
manusia di dunia ini adalah pemberian. Tiada seorang pun yang ketika dilahirkan
ke dunia ini sudah pakai pakaian. Setiap orang dilahirkan ke dunia ini dengan
telanjang bulat, tidak punya apa-apa. Orang boleh berkata, apa yang dimilikinya
adalah warisan dari orang tuanya. Tetapi bukankah orang tua juga lahir ke dunia
ini dengan telanjang? Maka, asal muasalnya harta milik adalah pemberian Sang
Pencipta, yang membuat taman Eden untuk kesejahteraan manusia.
Sedemikian itu, sehingga
Konsili Vatikan II dapat menegaskan: “Allah menghendaki, supaya bumi beserta
segala isinya digunakan oleh semua orang dan sekalian bangsa, sehingga harta
benda yang tercipta dengan cara yang wajar harus mencapai semua orang,
berpedoman pada keadilan, diiringi dengan cinta kasih” (GS,69). Atas dasar ini
Gereja merumuskan ajaran sosialnya tentang harta-milik perorangan. Dari satu
pihak, “harta-milik dan bentuk-bentuk lain pemilikan perorangan atas harta
benda lahiriah berperanserta dalam pengungkapan pribadi. Selain itu membuka
peluang baginya untuk menunaikan tugasnya dalam masyarakat di bidang ekonomi.
Maka amat pentinglah, bahwa tetap terbuka kemungkinan memperoleh suatu hak
milik atas hal-hal lahiriah” (GS,71). Namun, dari lain pihak, “milik perorangan
sendiri pun menurut hakekatnya mempunyai sifat sosial juga, yang didasarkan pada prinsip: harta-benda
diperuntukkan bagi semua orang. Bila sifat sosial itu diabaikan, harta-milik
sering sekali membuka peluang bagi keserakahan dan kekacauan yang parah, sehingga
para penentang menemukan dalih untuk melawan hak atas milik perorangan”
(GS,71).
Setiap manusia pada
hakekatnya memiliki martabat sebagai citra Allah. Martabat ini harus mewujud
dalam setiap bidang kehidupan manusia, termasuk kehidupan ekonomi. Maka Konsili
Vatikan II menegaskan: “Dalam kehidupan sosial ekonomi martabat pribadi manusia
serta panggilannya seutuhnya, begitu pula kesejahteraan seluruh masyarakat,
harus dihormati dan dikembangkan. Sebab manusialah yang menjadi pencipta, pusat dan tujuan seluruh
kehidupan sosial ekonomi” (GS,63). Singkatnya, tujuan sentral upaya ekonomi ialah kepentingan hidup manusia, baik
perorangan maupun bersama (masyarakat), dan pelakunya adalah manusia itu sendiri.
Dalam hal ini peran pemerintah sejatinya berciri subsidier. Sebagai fasilitator atau
administrator kesejahteraan umum, pemerintah mesti menjalankan peran sebagai
pendukung dan pemberdaya, tanpa mengambil alih apalagi memonopoli usaha ekonomi
masyarakat. Aneksasi peran perorangan dan masyarakat oleh pemerintah,
menjadikan individu atau masyarakat pasif dan kehilangan otonomi dan haknya.
Peran pemerintah harus diberi batas etis, yakni memberi peluang pada kebebasan
dan otonomi individu atau masyarakat mengupayakan kesejahteraannya. Dalam
prinsip subsidiaritas yang diterapkan pada peranan pemerintah, individu dan
masyarakat warga berhak atas subsidi yang diberikan pemerintah sebagai pemangku
kuasa negara, karena untuk itulah negara ada (lih. GS,74).
Fenomena lain yang mengancam
otonomi bahkan hak-hak ekonomi masyarakat adalah intervensi korporasi dalam upaya-upaya ekonomi
suatu masyarakat. Sebagai badan usaha, orientasi usaha korposrasi ialah
keuntungan. Korporasi bukan lembaga sosial dan bukan perpanjangan tangan
kekuasaan yang wajib menjamin kesejahteraan masyarakat. Tentu saja intervensi
korporasi dalam usaha ekonomi tidak dapat diingkari. Dalam banyak hal korporasi
justru dapat menjadi partner pengembangan ekonomi. Namun kerap kenyataan tak
seindah regulasi atau patokan normatif. Dalam banyak kasus di negara kita,
masyarakat justru kehilangan haknya atas sumber-sumber ekonomi karena
intervensi atau monopoli sumber-sumber ekonomi oleh korporasi. Tidak heran jika
dalam kenyataan, sumber ekonomi berupa tanah dan lingkungan alam terkuasai oleh
korporasi. Akibatnya masyarakat kehilangan hak-haknya atas sumber ekonomi.
Mereka bahkan tersingkirkan dan tak dapat mempertahankan diri, apalagi pemangku
kekuasaan seringkali tidak menjalankan peran mediator yang adil (bdk. GS,70).
Mustahillah mengupayakan kehidupan ekonomi bermartabat tanpa penegakan hukum
yang menjamin hak-hak ekonomi masyarakat, mencegah pencaplokan, penguasaan atau
monopoli sumber-sumber ekonomi oleh para pemodal. Negara seharusnya hadir
secara efektif menjamin keadilan dan menegakkan hukum yang berpihak pada
keadilan dan kebenaran. Hak-hak masyarakat tidak dirampas, melainkan diperkuat
dan difasilitasi agar masyarakat dapat lebih mudah mengupayakan
kesejahteraannya sendiri.
(3) Gerakan
Pertobatan, Memberdayakan Kemandirian Kehidupan Ekonomi
Kiranya akar terdalam akumulasi
ketidakadilan ekonomi dewasa ini ialah, bahwa iman tidak lagi menjadi sumber
inspirasi bagi kehidupan nyata. Penghayatan iman lebih berkisar pada hal-hal
lahiriah, simbol-simbol dan upacara keagamaan (bdk. Nota Pastoral KWI 2003, no. 11). Hidup kita sekarang ini telah
begitu menjadi lemah, karena tidak ditata berdasarkan iman dan ajaran agama (Nota Pastoral KWI 2004, no. 3). Mengapa
demikian? Mudah-mudahan saya salah, tetapi menurut saya sebab utamanya ialah
pada umumnya umat tidak mengenal dan memahami secara memadai iman dan ajaran
agamanya. Di sini kita berbicara mengenai kehidupan ekonomi. Pertanyaannya,
seberapa banyak umat Katolik yang sungguh-sungguh sudah mengenal dan memahami
iman Gereja, sebagaimana telah dikemukakan di atas (Bagian 2)? Saya khawatir
tidak banyak. Oleh karena itu, langkah pertama yang perlu diambil dalam gerakan
APP 2020 ini ialah, pendalaman iman
Gereja di bidang sosial ekonomi.
Lalu, langkah selanjutnya ialah studi situasi rumit ketidakadilan dalam
kehidupan ekonomi dewasa ini, sebagaimana sudah disinggung di depan (Bagian 1).
Bayangkanlah berapa banyak saudari-saudara kita di berbagai tempat harus hidup
di bawah garis kemiskinan, terancam bahaya kelaparan, akibat keserakahan
segelintir orang yang menumpuk secara berlebihan kekayaan bumi, yang oleh Sang
Pencipta diperuntukkan semua manusia. Pikirkanlah, ketika uang menjadi ilah
baru dalam hidup manusia, korupsi merajalela dan membuat pembangunan ekonomi
demi kepentingan umum terhambat; eksploitasi tambang dan penebangan hutan
secara semena-mena dan menyebabkan kerusakan lingkungan, bencana alam, banjir,
tanah longsor; manusia
dijadikan komoditas lewat perdagangan manusia; peredaran narkoba, yang secara
khusus mengancam generasi muda yang rentan terjangkit kuman penyakit sosial
zaman now: konsumerisme-hedonisme. Selanjutnya heninglah sejenak, kemudian
tantanglah diri anda dengan pertanyaan: “Apakah saya masih layak disebut
seorang beriman Katolik, bila hati saya tidak tersentuh oleh semua ini?”
Apabila hati anda tersentuh, itu pertanda anda sudah mulai mengalami sense of crisis (sadar krisis). Ini
merupakan awal perubahan dan pembaharuan hati dan budi, yang kita sebut pertobatan (lih. Yoel 2:13; Amos
5:21-24). Ini harus menjadi gerakan bersama!
Selanjutnya, menurut iman Katolik, manusialah yang menjadi pencipta,
pelaku (aktor), pusat dan tujuan seluruh kehidupan sosial ekonomi. Ini
bertentangan dengan prinsip para produsen dan pelaku sistem pasar bebas, yang
tujuannya mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan
sekecil-kecilnya. Para produsen dan pelaku pasar bebas tak akan rela membiarkan
masyarakat menjadi mandiri dalam kebutuhan-kebutuhan ekonomi. Karena kalau
begitu, produk dan barang dagangan mereka tak akan laku. Oleh karena itu,
masyarakat sendiri yang harus bangkit berusaha memberdayakan diri dalam bidang
ekonomi. Gereja terpanggil untuk mendorong dan mendukung usaha-usaha seperti
itu.
Secara khusus kita ingin menyebut gerakan Credit Union (CU). Ajaran inti CU ialah: (1) Setiap orang harus
menolong diri sendiri dengan merubah pola pikir, bersikap dan berperilaku
hemat/rajin; (2) Pendidikan harus terus-menerus dilakukan untuk perubahan
berkelanjutan; (3) Setiap orang harus membebaskan diri dari keinginan semata
dan memberi prioritas pada kebutuhan hidup; (4) Komunitas harus saling percaya
dan bekerja bersama untuk hal yang baik demi memperbaiki kesejahteraan jasmani;
lalu kesejahteraan spiritual, dan juga meningkatkan keuntungan bersama; (5)
Komunitas harus memampukan dirinya untuk mandiri, daripada bekerja untuk
kepentingan para lintah darah; komunitas tidak mengandalkan berbagai bentuk
pertolongan dari luar, yang hanya dapat mengurangi kemiskinan mereka sementara
saja.
Selamat membangun gerakan kehidupan ekonomi
yang bermartabat, khususnya di Masa Prapaskah ini!
Tuhan memberkati
kita semua!
Makassar, 4 Februari
2020
+John
Liku-Ada’
Komentar
Posting Komentar