KELUARGA BERWAWASAN EKOLOGIS
SURAT GEMBALA
PRAPASKAH 2017
KEUSKUPAN ANGUNG MAKASSAR
Kepada para Pastor, Biarawan-Biarawati dan segenap Umat Katolik
Keuskupan Agung Makassar: salam sejahtera dalam Kristus Yesus, Tuhan kita,
“gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala
sesuatu yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala
sesuatu” (Kol. 1:15-16a). Lingkaran 3-tahunan gerakan APP Nasional 2017-2019
mengangkat tema besar “Penghormatan dan
Penghargaan Keutuhan Ciptaan demi Kesejahteraan Hidup Bersama”. Subtema
pertama pada tahun 2017 ini berjudul “Keluarga Berwawasan Ekologis”. Marilah
kita merenungkan topik ini bertitiktolak dari Kitab Suci, sabda Allah.
Indah Rencana Tuhan)
Kitab Kejadian menampilkan dua model penciptaan manusia oleh Allah. Model
yang disebut pertama, ialah melalui Sabda atau Firman. “Berfirmanlah Allah: Baiklah
Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…. Maka Allah menciptakan
manusia itu menurut gambar-Nya …; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”
(Kej. 1:26-27). Menurut para ahli, model ini bersumber dari tradisi P (Priestercodex, dari masa sesudah
pembuangan: sejak akhir abad ke-6 B.C). Sedangkan model kedua menggambarkan
Tuhan Allah bagai pematung, yang “membentuk manusia itu dari debu tanah dan
menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi
makhluk yang hidup” (Kej. 2:7). Model ini, menurut para ahli, sumbernya adalah tradisi
Y (Yahwis), yang sesungguhnya jauh
lebih tua dari tradisi P, karena berasal dari sekitar abad ke-10 B.C.
Pertanyaan yang
penting diajukan, ialah: untuk apa Tuhan Allah menciptakan manusia? Pastilah
bukan untuk kepentingan-Nya sendiri. Mengapa? Karena Allah itu Mahasempurna,
tidak ada satu pun kekurangan dalam Diri-Nya. Maka Ia tidak memerlukan apa pun
dari luar Diri-Nya. Jadi apa sesungguhnya tujuan Tuhan Allah menciptakan
manusia? Jawaban atas pertanyaan ini ditemukan dalam kisah taman Eden (Kej.
2:8-25): “Selanjutnya Tuhan Allah membuat taman di Eden, di sebelah timur;
disitulah ditempatkan-Nya manusia yang dibentuknya itu. Lalu Tuhan Allah
menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan baik untuk dimakan
buahnya; dan pohon kehidupan di tengah-tengah taman itu, serta pohon
pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” (2:8-9). Di situ ada sungai yang
mengalir untuk membasahi taman itu (2:10-14). Di taman Eden itu juga Tuhan
Allah membentuk dari tanah segala ternak (2:20), binatang hutan dan
burung-burung di udara (2:19.20).
Di taman Eden itu
pulalah Tuhan Allah menjadikan penolong bagi manusia itu, yang sepadan dengan
dia: “Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak … Tuhan Allah mengambil
salah satu rusuk daripadanya … Dan dari rusuk … itu, dibangun-Nyalah seorang
perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu:
‘Inilah dia tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai
perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki’. Sebab itu seorang laki-laki akan
meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya
menjadi satu daging” (2:21-24). Jadi lembaga keluarga sebagai ikatan cinta
kasih suci antara suami-isteri sudah ditegakkan Allah sendiri sejak awal mula. Di
atas kita sudah melihat, bahwa juga dalam model penciptaan melalui Sabda
ditegaskan Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan. Berdasarkan
ketetapan sejak semula ini, Yesus Kristus kemudian menegaskan, “Karena itu, apa
yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat. 19:6; Mrk.
10:9).
Adapun keluarga
manusia pertama itu hidup berbahagia di taman Eden, dalam lingkungan yang
harmonis, segala kebutuhan terpenuhi, dan mereka berada dalam relasi akrab
dengan Tuhan Allah. Tuhan Allah digambarkan sering “berjalan-jalan dalam taman
itu pada waktu hari sejuk” (3:8). Sebagai gambar dan rupa Allah, tentu saja
manusia tidak dapat hanya duduk bermalas-malas di taman Eden. Sebagaimana Allah
sendiri terus berkarya, manusia juga harus terus bekerja “mengusahakan dan
memelihara taman itu” (2:15).
(2. Dirusak oleh Dosa)
Akibat dosa,
kebahagiaan keluarga manusia pertama, yang disimbolkan dengan taman Eden,
hilang. Apa sesungguhnya hakekat dosa manusia/keluarga pertama itu? Mereka
diciptakan “menurut gambar (selem)
dan rupa (demût) Allah”.
Kata Ibrani selem berarti copy yang
persis sama dengan aslinya, reproduksi; sedangkan demût berarti serupa, mirip. Sebagai gambar dan rupa
Allah, manusia tidak dapat tidak harus tetap dalam ikatan ketergantungan pada
Allah. Sebuah reproduksi atau ‘yang mirip’ tidak dapat berubah menjadi ‘yang
asli’. Tetapi itulah yang terjadi dengan kisah kejatuhan manusia (Kej. 3):
Manusia tidak tunduk kepada Allah; ia melepaskan ketergantungannya pada Allah,
dan mau menjadi Allah sendiri. Sebagai akibatnya, rencana asli penciptanya
ditunggangbalikkan: kisah kebahagiaan (taman Eden) menjadi kisah penderitaan,
sejarah keselamatan menjadi sejarah kemalangan. Dan ini mengena semua dimensi
relasional manusia:
(a). Hubungan
Manusia dengan Allah: Akibat dosa putuslah hubungan akrab antara manusia dengan
Allah, yang dilambangkan dengan pengusiran manusia dari taman Eden (Kej.
3:22-24). Sebagai konsekwensi putusnya hubungan dengan Allah ini, manusia
diserahkan kepada penderitaan dan kematian yang menakutkan (maut). “Dengan
berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi
tanah, karena dari situlah engkau diambil” (3:19). Ganti menerima kehidupan
ilahi sebagai anugerah (“Tuhan Allah … menghembuskan nafas ke dalam hidungnya”,
Kej. 2:7), Adam dan Hawa, pasutri pertama itu, membuang hidup ilahi itu, dan
sendiri mau menjadi allah dengan makan buah terlarang (=tidak tunduk kepada
Allah). Akibat ketidaktaatan ini manusia menghancurkan kehidupannya. Kematian
yang seharusnya hanya merupakan peralihan final kepada Allah, kini tidak lagi
berupa gejala kodrati (biologis) semata. Kini kematian itu menjadi pengalaman
fatal, menandakan penghukuman, kematian abadi. Dengan menolak hukum batin, yang
merupakan kehadiran ilahi dalam dirinya, manusia diserahkan kepada dirinya
sendiri, kepada otonominya yang salah. Sejarah mencatat kegagalan-kegagalan
berulang kali dari orang-orang yang menyangka dapat menyamai Allah dan kemudian
hanya berjumpa dengan kematian, berupa maut yang menakutkan.
(b). Hubungan
Manusia dengan Sesamanya: Hal pertama yang ditemukan Adam dan Hawa, si pendosa,
ialah bahwa mereka telanjang (3:7.10-11). Apa yang sampai saat itu hanya berupa
simbol, kini menjadi pemisahan. Ketika ditanya Allah, Adam mempersalahkan
isterinya (taktik mengelak dari tanggungjawab dengan melempar kesalahan kepada
yang lain), dan dengan demikian dia menjauhkan diri dari isterinya (3:12).
Allah kemudian memberitahu mereka bahwa kesatuan mereka (sebagai “satu daging”
= kesatuan perkawinan/keluarga) telah rusak. Relasi mereka akan dikuasai oleh
dorongan naluri dan nafsu, oleh iri hati dan dominasi; dan buah cinta mereka
(anak) hanya akan diberikan kepada mereka dengan sangat kesakitan waktu
melahirkan (3:16). Bab-bab selanjutnya dari kitab Kejadian memperlihatkan
betapa pemisahan pasutri/keluarga pertama ini berpengaruh pada segala macam
ikatan sosial; antara Kain dan Habel, saudara sekandung yang bermusuhan dan
bahkan memuncak pada tindakan pembunuhan (Kej. 4), dan di kalangan penduduk
Babel yang tak lagi dapat saling mengerti satu sama lain (Kej. 11:1-9). Sejarah
agama-agama merupakan sebuah rentang kusut jaringan perpecahan, silih
bergantinya perang antar suku dan bangsa, antara kelompok dalam satu bangsa
atau negara, jurang pemisahan antara yang kaya dan yang miskin.
(c). Hubungan
Manusia dengan Alam: Dosa tidak hanya merusak hubungan manusia dengan Tuhan dan
hubungan manusia dengan sesamanya. Dosa membawa pula pengaruh buruk pada
hubungan manusia dengan alam. Akibat dosa pasutri pertama, Adam dan Hawa, untuk
selanjutnya tanah menjadi terkutuk. Manusia akan memperoleh makanannya tidak
lagi sebagai buah spontan bumi, melainkan sebagai hasil jerih payah dengan
berpeluh (Kej. 3:17-19). Ciptaan lalu ditaklukkan kepada kesia-siaan (Rom.
8:20); ganti tunduk dengan rela, alam memberontak melawan manusia. Dan ini
berlangsung sampai sekarang. Ketika pada Desember 1987 banjir besar melanda
Kabupaten Polmas (kini bagian dari Propinsi Sulbar), Gubernur Propinsi Sulawesi
Selatan waktu itu, Prof. Dr. A. Amiruddin, berkomentar: “Kalau manusia berlaku
tidak ramah terhadap alam, maka alam pun akan balik berlaku tidak ramah kepada
manusia”.
Dalam Ensikliknya Laudato Si’, yang
dikeluarkan pada Hari Pentakosta, 24 Mei 2015, Paus Fransiskus menulis:
“Saudari (bumi) ini kini menjerit kepada kita karena kerusakan yang telah kita
timpakan padanya dengan penggunaan dan penyalahgunaan barang-barang yang telah
dianugerahkan Allah kepadanya. Kita telah sampai melihat diri kita berlagak
sebagai tuan-tuan dan pemiliknya, yang merasa berhak menjarah dia semau kita. Kekerasan
yang ada dalam hati kita, terluka oleh dosa, juga tercermin pada gejala-gejala
penyakit yang tampak jelas pada tanah, air, udara dan pada segala bentuk
kehidupan. Inilah sebabnya bumi sendiri, yang terbebani dan terabaikan, adalah
yang paling teraniaya dan terbuang di kalangan kaum miskin kita; ia “mengeluh
kesakitan” (Rom. 8:22). Kita telah melupakan bahwa kita sendiri adalah debu
tanah (bdk.Kej.2:7); tubuh kita sendiri terbentuk dari unsur-unsurnya, kita
menghirup udaranya dan kita menerima kehidupan serta minuman dari airnya” (no.
2).
Sudah sejak
pertengahan dekade 1960-an merebak ramai debat teologis, khususnya di Amerika
Utara, sekitar masalah ekologi. Para ekologist menuduh etika Kristen, yang
menekankan wewenang manusia atas alam (bdk.Kej.1:26-28), telah melahirkan ilmu
pengetahuan dan teknologi buta dan budaya ekonomistik yang tidak sehat. Tentu
saja para teolog Kristen menolak tuduhan tersebut. Khususnya dalam tradisi
Katolik, etika menyangkut hubungan antara manusia dan alam tidak dibangun atas
dasar pandangan antroposentrisme, yang terasa kuat dalam Kej. 1:26-28,
melainkan atas teologi inkarnasi Sabda Allah dalam Perjanjian Baru. Atas dasar
ini hubungan antara manusia dan alam kodrati dipahami secara lebih positif dan
terdapat suatu sikap bekerjasama dengan alam. Tetapi pertanyaannya ialah,
sejauh mana kita orang-orang Katolik melandaskan sikap dan perilaku kita
terhadap alam pada teologi inkarnasi dan pada kisah taman Eden? Sejauh mana
kita tidak memperlakukan ibu pertiwi secara semena-mena, melainkan
“mengusahakan dan memelihara”-nya bagai taman Eden?
(3. Membangkitkan Pertobatan Ekologis Berawal dari Keluarga).
Pertama-tama, mari kita menyegarkan kesadaran kita lagi akan makna pertobatan sejati. Pertobatan dalam
bahasa Latin disebut conversio
(kembalinya), bahasa Yunani metanoia (meta
= perubahan, nous = mentalitas),
merupakan padanan kata Ibrani syûb,
yang menjadi ciri pemberitaan para nabi (Yer. 18:8; 24:7; Yeh. 33:9.11; Am.
4:6-12). Pertobatan mengungkapkan perubahan radikal dalam diri manusia, yang
mewujud dalam tindakan dan perilaku nyata.
Di sini kita ingin mencanangkan gerakan
pertobatan ekologis berawal dari keluarga. Dalam kaitan ini barangkali kita
masih ingat apa yang pernah dikemukakan Paus Yohannes Paulus II, yang sekarang
sudah santo. Beliau mengatakan, kalau keluarga-keluarga Katolik baik, maka
Gereja akan baik. Sesungguhnya dengan pernyataan ini beliau hanya mengetrapkan
dalil sosiologi pada Gereja. Dalam sosiologi, keluarga dipandang sebagai sel
dasar masyarakat. Kalau sel itu sehat, maka masyarakat akan sehat; sebaliknya,
kalau sel itu sakit, maka masyarakat akan sakit. Dan masyarakat manusia tidak
terbayangkan tanpa hubungan hakiki dan eksistensial dengan alam ciptaan. Selanjutnya,
kebenaran dalil sosiologis tentang sentralnya posisi keluarga dalam keutuhan
ciptaan sesungguhnya mempunyai landasan biblis yang kuat. Bukankah, sebagaimana
kita sudah lihat, Allah menciptakan manusia pria dan wanita dan menempatkan
pasutri pertama itu di taman Eden? Dan apa yang disebut “dosa asal” itu pada
hakekatnya adalah dosa keluarga pertama, Adam dan Hawa! Maka gerakan pertobatan
ekologis yang berawal dari keluarga mempunyai fungsi yang sangat strategis.
Pertama-tama kita harus berpegang
pada kebenaran iman, bahwa dalam Kristus segala sesuatu telah ditebus. Namun,
di lain pihak, penebusan dalam Kristus tidak menghapus kehendak bebas manusia. Manusia
tetap dapat menerima dan setia pada Allah atau, sebaliknya, menolak Allah.
Karena itu, pusat pewartaan Yesus adalah: “Kerajaan Allah sudah dekat.
Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk. 1:15//Mat. 3:2; 4:17).
Bagaimana secara konkret pertobatan
ekologis itu mewujud dalam keluarga? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya
kita mulai dengan memperhatikan keprihatinan Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’. Beliau menulis: “Patut
disayangkan, banyak upaya mencari solusi-solusi konkret terhadap krisis lingkungan
telah terbukti tidak efektif, tidak saja karena adanya oposisi yang kuat
melainkan juga karena kurangnya kepedulian secara umum. Sikap-sikap yang
menghalangi, juga di kalangan kaum beriman, dari menyangkal adanya masalah ke
sikap acuh tak acuh, tak ambil pusing atau kepercayaan buta pada solusi-solusi
teknis. Kita membutuhkan suatu solidaritas baru dan universal…Kita semua dapat
bekerjasama sebagai alat-alat (dalam tangan) Allah untuk memelihara ciptaan,
masing-masing menurut budaya, pengalaman, keterlibatan dan talenta
sendiri-sendiri” (no. 14).
Kembali ke lembaga keluarga,
simaklah anekdot ini: Alkisah, adalah suatu keluarga yang sibuk membangun
rumah. Kemudian datanglah seorang membawa berita, bumi sedang terbakar. Tetapi
keluarga itu tidak peduli. Mereka hanya fokus pada upaya menyelesaikan segera
pembangunan rumah mereka. Ketika rumah sudah selesai dibangun, baru mereka
sadar tidak ada tempat lagi untuk meletakkan rumah itu, karena bumi sudah
terbakar hangus. Kiranya pesan cerita kecil ini jelas. Dalam hal memelihara dan
menjaga bumi, sang ibu pertiwi, tak ada satu keluarga pun yang boleh mengambil
sikap tak peduli. Barangkali keluarga anda bukanlah pengusaha besar kayu yang
telah merusak hutan dalam skala besar, bukan industrialis yang menyebabkan
polusi udara dan air, bukan pula pengusaha tambang yang menggunduli kulit bumi
sampai terancam menjadi padang pasir, dst.! Mungkin keluarga anda hanyalah
keluarga sederhana. Tetapi setiap keluarga, tak terkecuali keluarga anda
menjadi si alamat seruan Paus Fransiskus, untuk menjadi alat-alat di tangan
Allah dalam memelihara keutuhan ciptaan.
Hendaknya ritus tobat yang kita
ucapkan pada setiap awal perayaan Ekaristi tidak tinggal menjadi kata-kata
hampa, tanpa makna. Kita berkata, dan selanjutnya menepuk dada: “Saya mengaku
kepada Allah yang Mahakuasa dan kepada saudara sekalian, bahwa saya telah
berdosa dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian. Saya berdosa, saya berdosa,
saya sungguh berdosa”. Pentinglah memperhatikan rumusan, berdosa “dengan
perbuatan dan kelalaian”. Berdosa “dengan perbuatan” adalah tindakan melanggar
hukum moral dengan tahu dan mau. Berdosa “dengan kelalaian” ialah
tidak membuat apa yang seharusnya dibuat. Jadi, lalai memelihara lingkungan,
lalai menjaga keutuhan ciptaan adalah dosa!
Kalau setiap keluarga Katolik sudah
sampai pada kesadaran itu, ia akan terdorong untuk berubah. Kita telah melihat,
pertobatan pertama-tama berarti perubahan mental, yang selanjutnya terungkap
keluar dalam perilaku, tindakan. Paus Fransiskus mengajak kita melibatkan diri
dalam memelihara lingkungan menurut budaya, pengalaman, posisi dan bakat kita
masing-masing. Yang paling penting dan mendasar ialah upaya setiap keluarga
membangun kesadaran akan tanggungjawab memelihara lingkungan, dan selalu
mengingat bahwa mengabaikan tanggungjawab tersebut adalah dosa kelalaian! Dan
jangan lupa, kelalaian memelihara lingkungan adalah sekaligus dosa terhadap Allah,
Sang Pencipta, yang pada awalmula menempatkan pasutri pertama di taman Eden,
untuk mengusahakan dan memeliharanya! Bahwa kelalaian merawat lingkungan adalah
juga dosa sosial, dosa terhadap sesama, itu dengan sendirinya jelas. Bukankah,
misalnya, membuang sampah ke selokan di samping rumah kita dan menyebabkan air
tidak dapat mengalir pada musim hujan, akan merugikan tetangga-tetangga kita
pula?
Jadi, kita melihat dosa kelalaian
merawat lingkungan adalah sekaligus dosa terhadap Sang Pencipta dan terhadap
sesama. Hal ini jelas pada apa yang disebut “dosa asal”, dosa pasutri pertama,
Adam dan Hawa. Dosa terhadap Allah sekaligus merusak relasi antar mereka
(relasi sosial) dan relasi mereka dengan lingkungan (alam). Karena itu
pertobatan kita pada Masa Prapaskah tidak dapat hanya dengan berupa upaya
memperbaiki hubungan kita dengan Allah, dan mengabaikan perbaikan hubungan
dengan sesama dan dengan alam ciptaan.
Kembali ke gerakan pertobatan
ekologis berawal dari keluarga, kita perlu berpaling ke Keluarga Kudus Nazaret
untuk mendapatkan inspirasi. Inti spiritualitas Keluarga Kudus ialah ketaatan
total kepada kehendak Allah. Ini persis bertolak-belakang dengan inti dosa
pasutri/keluarga pertama, Adam dan Hawa, yaitu ketidaksetiaan kepada perintah
Allah, dan sendiri mau “menjadi seperti Allah” (Kej. 3:5). Maria (ibu keluarga)
menegaskannya dengan kata-kata: “Sesungguhnya aku adalah hamba Tuhan; jadilah
padaku menurut perkataanmu itu” (Luk. 1:38). Yusuf (bapa keluarga)
mengungkapkannya bukan dengan kata-kata melainkan dengan tindakan: “Sesudah
bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti apa yang diperintahkan malaikat
Tuhan itu kepadanya” (Mat. 1:24). Dan, seperti kata pepatah, buah yang jatuh
tidak jauh dari pohonnya; sikap dasar itu turun kepada sang anak. Yesus merumuskannya
dalam bentuk doa: “Ya, Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini
daripada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang
terjadi” (Luk. 22:42).
Kesetiaan total kepada Allah
sekaligus mewujud dalam relasi dengan orang lain, berupa perhatian,
keprihatinan, belarasa, kasih, khususnya kepada mereka yang miskin dan
menderita. Mengenai segi ini memang Injil tak banyak bicara tentang orang tua
Yesus. Tetapi itu tidak berarti orang tua Yesus kurang peduli terhadap sesama. Kita
melihat kepekaan Maria terhadap kesulitan yang sedang dihadapi orang lain, misalnya
pada pesta perkawinan di Kana. Dan bahwa kemudian sang Anak tampil sebagai
pribadi yang peka terhadap penderitaan orang lain, yang rela mengorbankan diri
karena kasih terhadap sesama, itu tentu berkat didikan orang tua-Nya.
Lalu bagaimana sikap dan perhatian
Keluarga Kudus Nazaret terhadap lingkungan hidup? Hal ini memang sulit
ditelusuri dalam Injil.Tetapi jangan dilupakan, bahwa masalah serius menyangkut
ekologi baru mulai sejak abad ke-19, ketika kemajuan industri dan ilmu
pengetahuan saling menunjang dalam melahirkan revolusi teknologis, yang secara
harafiah merubah muka bumi. Seandainya Keluarga Kudus Nazaret hidup pada zaman
sekarang, mereka tentu akan menjadi teladan dalam merawat keutuhan ciptaan!
Tetapi tidakkah setiap keluarga Katolik pada dewasa ini terpanggil menjadi
Keluarga Kudus Nazaret?
(4. Pendidikan Anak Berwawasan Ekologis)
Di atas kita terutama mengarahkan
pesan ekologis kepada orang tua dalam keluarga. Tentu saja kita tidak boleh
melupakan anak-anak, generasi penerus yang akan mewarisi bumi sebagai rumah
bersama dan sebagai “ibu yang menopang dan membimbing kita, dan yang
menghasilkan berbagai jenis buah-buahan dengan bebungaan berwarna-warni serta
bumbu-bumbuan” (Madah Makhluk Fransiskus
Asisi; Laudato Si’, no. 1).
Gereja selalu memandang keluarga
sebagai sekolah pertama. Dasar pertimbangannya ialah karena orang tua telah
menyalurkan kehidupan kepada anak-anak. Oleh sebab itu orang tua terikat
kewajiban teramat berat untuk mendidik anak-anak mereka; orang tualah pendidik
pertama dan utama anak-anaknya. Dalam keluargalah anak-anak menemukan
pengalaman pertama masyarakat manusia yang sehat serta Gereja. Melalui
keluargalah akhirnya mereka lambat laun diajak berintegrasi dalam masyarakat
manusia dan umat Allah dalam dunia (lih. GE,1).
Kecuali itu, harus disadari betapa
pentingnya pendidikan nilai bagi anak-anak kita sejak dini. Sebab apa yang
diterima dan dialami anak manusia pada masa kecilnya akan tetap tinggal dan
berpengaruh dalam hidupnya di masa dewasa. Semakin dalam pengalaman di masa
kecil itu tertanam, akan semakin besar pengaruhnya kelak dalam hidupnya sampai
akhir. Karena itu pendidikan berwawasan ekologis bagi anak-anak amat penting
dan sangat strategis.
Lalu apa yang secara konkret dapat
diberikan orang tua dalam pendidikan berwawasan ekologis kepada anak-anaknya?
Menurut hemat saya, sesuai dengan tingkat perkembangan daya tangkap si anak,
orang tua perlu menceritakan (berkisah) tentang apa yang sudah dibahas dalan
nomor 1 dan 2 Surat Gembala Prapaskah ini. Orang tua dan kakak-kakak perlu
berkisah kepada anggota keluarga yang masih kecil tentang betapa indahnya
rencana Allah pada awal mula ketika menciptakan langit dan bumi serta isinya,
yang memuncak pada penciptaan manusia, Adam dan Hawa. Tetapi rencana Tuhan yang
indah itu dirusak oleh dosa manusia, yang melawan perintah Tuhan dan mau
menjadi Tuhan sendiri. Selanjutnya berkisah tentang dosa terhadap Allah adalah
sekaligus dosa terhadap sesama dan terhadap alam ciptaan. Dalam berkisah
mengenai semua segi itu, hendaknya diberi contoh-contoh nyata dari apa yang
terjadi dewasa ini akibat ulah manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap
alam: pengotoran air akibat pembuangan sampah dan limbah industri secara
sembarangan; polusi udara; banjir dan tanah longsor akibat penggundulan hutan;
perubahan iklim yang tidak menentu; panas bumi yang semakin meningkat yang
mengancam cairnya gunung es di kutub selatan, dan akan menyebabkan permukaan
bumi yang rendah akan tenggelam; dst. Tetapi anak-anak juga harus dididik untuk
memelihara lingkungannya, tidak membuang sampah sembarangan, menjaga
kebersihan, menanam tanaman dan pohon. Sesekali juga hendaknya seluruh keluarga
mengadakan wisata alam.
Akhirnya, selamat menjalani Masa
Prapaskah, khususnya selamat memulai gerakan pertobatan ekologis berawal dari
keluarga Anda! Tuhan memberkati kita semua!
Makassar,
17 Februari 2017
+John Liku-Ada’
PERATURAN
PUASA DAN PANTANG:
Masa Prapaskah mulai pada HARI RABU ABU tanggal
1 Maret 2017 dan berjalan sampai Pesta Paskah tanggal 16 April 2017.
Seluruh Masa Prapaskah
adalah waktu bertapa. Karena itu diharapkan dari masing-masing agar selama Masa
Prapaskah dengan kesadaran dan kerelaan melakukan pekerjaan amal dan tapa
menurut pilihan masing-masing, selain yang diwajibkan di bawah ini.
Secara khusus diminta
perhatian untuk AKSI PUASA PEMBANGUNAN (APP), yang dimaksudkan mengumpulkan
dana, yang diperoleh dari usaha-usaha penghematan / berpantang. Dana itu
diperuntukkan karya-karya sosial, termasuk usaha-usaha pengembangan Komunitas
Basis/Keluarga dan pemberdayaan lingkungan. Sungguh menggembirakan melihat
animo umat untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan APP semakin meningkat.
Tahun 2016 dana hasil APP di Keuskupan kita naik 7,7% dibanding dengan tahun
2015. Sambil mengucapkan terima kasih atas semua itu, kita berharap APP tahun
ini akan meningkat lebih baik lagi.
Di samping itu selama
Masa Prapaskah kita wajib berpuasa dan berpantang menurut peraturan berikut:
Pada Hari Rabu Abu dan
Jumat Agung ada kewajiban berpuasa dan berpantang.
Pada hari-hari Jumat
Biasa dalam Masa Prapaskah hanya ada kewajiban berpantang.
Berpuasa berarti mengurangi makan, sehingga
hanya satu kali saja boleh makan kenyang dalam sehari.
Kewajiban untuk berpuasa ini berlaku bagi
mereka yang berumur antara 18 sampai 60 tahun.
Berpantang berarti mengurangi makanan mewah
sesuai dengan penilaian daerah masing-masing, misalnya berpantang dari daging.
Secara perorangan dapat pula menentukan wujud
berpantang menurut keadaan masing-masing, misalnya berpantang dari berjajan
makanan khusus, dari minuman keras, dari rokok, dll.
Kewajiban berpantang berlaku bagi mereka yang
berusia 14 tahun ke atas.
Mereka yang mendapat makanan dari dapur umum,
atau yang hidup di tengah keluarga yang seluruhnya belum Katolik, bebas dari
wajib pantang, tetapi tidak bebas dari wajib puasa.
Kewajiban Paskah, yaitu kewajiban untuk
menyambut komuni (dan kalau perlu sebelumnya mengaku dosa) dapat dipenuhi dari
Hari Rabu Abu tanggal 1 Maret 2017 sampai Hari Raya Tritunggal Mahakudus, 11
Juni 2017.
*********
Komentar
Posting Komentar