MENANGGAPI PANGGILAN TUHAN
Oleh Pastor Sani Saliwardaya, MSC
Inspirasi Bacaan:
1Raj.19:16b, 19-21; Gal. 5:1,
13-18; Luk. 9:51-62
Injil Lukas hari ini bertemakan tentang panggilan.
Panggilan, bukan hanya dalam arti sempit, yakni mengikuti Yesus dan menjadi
murid-Nya (ay.57-62), tetapi juga dalam arti luas, yakni menerima Yesus dan
percaya kepada-Nya (ay.51-53). Menanggapi panggilan dalam arti luas ini sering
juga disebut sebagai panggilan hidup beriman; sedangkan menanggapi panggilan
dalam arti sempit sering disebut pula sebagai mewujudkan panggilan hidup
beriman. Kita mencoba merenungkannya satu persatu.
Panggilan hidup beriman (ay. 51-53)
Dikisahkan
dalam konteks teks Injil kita hari ini,
bahwa Yesus dan para murid-Nya saat itu masih berada di daerah Galilea, di
bagian utara tanah Israel (bdk. Luk.9:10, 28)). Setelah menampakkan
kemuliaan-Nya di gunung Tabor di depan murid-murid-Nya, Petrus, Yohanes dan
Yakobus (Luk.9:28-36), dan berbicara dengan Musa dan Elia tentang “tujuan
kepergiann-Nya yang akan digenapi-Nya di Yerusalem” (Luk.9:31), Yesus dengan
mantap memutuskan untuk pergi ke Yerusalem (Luk.9:51).
Perjalanan
dari Galilea menuju Yerusalem, yang terletak di wilayah Yudea, harus melalui
daerah Samaria. Untuk itu, Yesus mengutus beberapa murid-Nya untuk
mempersiapkan kedatangan-Nya di Yerusalem. Tetapi, ketika memasuki suatu desa
di wilayah Samaria, mereka ditolak oleh orang-orang Samaria karena tujuan
mereka bukan ke Samaria melainkan ke Yerusalem. Seperti kita ketahui, penduduk
Samaria tidaklah saling bersahabat dengan penduduk Yerusalem, orang Yahudi pada
umumnya (bdk. Luk. 10:25-37; Yoh.4:9; Mat. 10:5). Jadi, sebenarnya penduduk
Samaria tidak secara langsung menolak para murid Yesus. Mereka ditolak memasuki
desa di Samaria karena tahu bahwa mereka mau ke Yerusalem, yang pendudukinya
bermusuhan dengan mereka, orang-orang Samaria. Dan penolakan tak langsung
kepada para murid ini juga merupakan penolakan tak langsung kepada Yesus dan
kepada Dia yang mengutus-Nya (bdk. Luk. 10:16). Karena alasan itulah, Yakobus
dan Yohanes mohon agar Yesus menghukum mereka dengan api dari langit
(Luk.9:54), sebagaimana dahulu nabi Elia menghukum musuh-musuhnya (bdk.
2Raj.1:10-12). Tetapi Yesus berpaling dan menegor mereka (Luk.9:55). Apa makna
kisah ini bagi kita?
Hal
menerima & percaya akan Yesus merupakan rahmat Allah. Karena itu, tidak
seorangpun bisa dan boleh dipaksa, apalagi dengan kekerasan & hukuman,
untuk menerima panggilan hidup beriman. Hidup beriman merupakan panggilan Allah
dan harus ditanggapi dengan penuh kebebasan (bdk. Katekismus Gereja Katolik,
no.153)
Mewujudkan panggilan hidup beriman
(ay.57-62)
Dikisahkan dalam ayat-ayat ini, ada tiga orang yang
berdialog dengan Yesus untuk dijadikan murid-Nya (ay.57, 59, 61).
Orang pertama, atas dasar
inisiatip sendiri ingin mengikuti Yesus. Dengan menjawab, “srigala mempunyai
liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat
untuk meletakkan kepala-Nya”, Yesus tidak menolak permintaannya, melainkan
mengajak orang tersebut untuk mempertimbangkan segala resiko mengikuti Yesus,
yakni meninggalkan bentuk-bentuk “kenyamanan diri” yang dilambangkan dengan
ungkapan “tempat untuk meletakkan kepada-Nya”.
Hal meninggalkan bentuk-bentuk “kenyamanan diri” itu
dipertegas lagi ketika Yesus, dengan inisiatip-Nya, justru memanggil
orang-orang lain yang nampaknya justru tidak ingin menjadi murid-Nya. Orang-orang
ini memberikan pelbagai alasan untuk menolak panggilan Yesus; orang kedua
menjawab, “izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan bapaku” (ay.59); dan orang
ketiga memberikan alasan, “izinkanlah aku pamitan dahulu dengan keluargaku”
(ay.61). Hal menguburkan bapa yang sudah meninggal dunia merupakan suatu
kewajiban tradisi dari anak laki-laki dan sebagai tanda bakti kepadanya.
Demikian pula berpamitan kepada keluarga sebelum bepergian merupakan suatu
kewajiban budaya. Dan hal mengikuti aturan tradisi & budaya senantiasa
memberikan rasa aman dan nyaman bagi para pelakunya. Yesus mengajak orang yang
mau mengikuti-Nya untuk meninggalkan rasa aman dan nyaman tersebut. Rasa aman
dan nyaman bersembunyi dibalik aturan tradisi & budaya. Yesus mengajak
mereka untuk menyerahkan rasa aman & nyamannya kepada Yesus sendiri. Mereka
diajak untuk tidak menyembunyikan diri lagi dibalik budaya dan tradisi mereka sendiri, melainkan menggantinya dengan
budaya dan tradisi baru, yakni budaya dan tradi Yesus, yakni budaya dan tradisi
untuk saling mencintai sesama tanpa sekat-sekat budaya dan tradisi sendiri. Apa
makna kisah ini bagi kita?
Melalui sakramen baptis yang telah kita terima, kita
bukan hanya menerima dan percaya kepada Yesus, tetapi juga telah diangkat
menjadi murid-murid-Nya. kita diajak untuk memakai dan menghidupi budaya dan
tradisi baru, yakni budaya & tradisi Kristus, budaya & tradisi cinta
kasih. Hal ini bukan berarti bahwa kita diminta untuk membuang jauh-jauh budaya
& tradisi hidup kita masing-masing. Kita diajak untuk bersikap kritis dan
refleksif. Budaya dan tradisi kita yang tidak sesuai dengan budaya &
tradisi cinta kasih perlahan-lahan kita ganti, dan kita belajar menghayati
budaya & tradisi Kristus tersebut.
Dengan
demikian, tampak ada sedikit perbedaan antara cara bersikap dalam menanggapi
panggilan hidup beriman dan cara bersikap dalam mewujudkan panggilan hidup
beriman. Dalam menanggapi panggilan hidup beriman, kita diajak untuk bersikap
bebas & terbuka tanpa ada keterpaksaan dalam menjawab rahmat Allah.
Sedangkan, dalam mewujudkan panggilan hidup beriman tersebut, kita dituntut
untuk berubah: dari sikap menghidupi budaya & tradisi sendiri menuju sikap
menghidupi budaya & tradisi Kristus. Suatu tuntutan sedikit banyak akan
mengurangi rasa kebebasan kita. Dengan kata lain, dalam mewujudkan panggilan
hidup beriman kita tidak bisa “bebas semau gue”; ada rambu-rambu yang mesti
diikuti, yakni rambu-rambu ajaran dan tradisi Gereja.
Menanggapi
panggilan Tuhan adalah perjuangan dan salib terus menerus yang pada akhirnya
akan mengantar pada keselamatan dan kebahagiaan.
Komentar
Posting Komentar